Selasa, 06 Januari 2009

Ayah, Ibu; Maafkan Anakmu!

Sadarilah!...Bukankah perjalanan hidup kita tak obahnya seperti seorang yang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan yang demikian melelahkan, ia berteduh sejenak di bawah sebuah pohon kayu yang rindang. Sekedar untuk melepas penat dan dahaga, ia pun akan melanjutkan perjalanannya kembali ke arah yang dituju. Artinya....Dunia yang kita tinggali saat ini, hanyalah tempat persinggahan sementara. Pada suatu masa nanti, entah kapan [bisa saja hari/malam ini, bulan ini, atau tahun ini] kita bakal pulang ke kampung akhirat. Di sanalah kita akan menerima balasan atas segala amalan yang kita perbuat di medan perantauan dunia ini, Ingatlah, siapa yang berbuat kebaikan, maka ia akan memperoleh ganjaran pahala, dan siapa yang berbuat kejahatan akan menderita dalam siksa dan kehinaan.

Mengapa kita sebagai seorang yang telah memproklamirkan diri sebagai muslim dan mukmin, tidak berusaha maksimal untuk mengenal bagaimana Islam dan iman itu sendiri. Agama hanya kita dijadikan sebagai topeng untuk mengelabui orang banyak. Islam hanya diamalkan kalau mendatangkan keuntungan material duniawi. Kita akan berpaling dari agama ini, dan bahkan mungkin menginjak-injak ajaran-Nya saat bertentangan dengan kemauan nafsu rendahan kita. Kita baca al-Qur’an (itu pun jarang dan tidak teratur), maksud dan tujuannya pun tidak pernah kita coba untuk pahami, apalagi untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari....

Tidakkah kita sadar, bahwa kita adalah generasi tumpuan dan harapan kedua orang tua, agama, dan negeri tercinta ini. Kenapa kita cenderung melupakan dan menganggap remeh segala pengorbanan dan cucuran keringat orang tua kita? Padahal... Mereka sangat berharap agar masa depan kita kelak jauh lebih baik dari mereka hari ini. Mereka jelas tidak menginginkan kondisi kita sama dan tidak berubah dari keadaan mereka saat ini. Bagi mereka..... Cukup sudah.. mereka saja yang menangung penderitaan dan susahnya kehidupan ini. Asal kita ini, anaknya menjadi ”orang” yang sukses dan berguna, mereka rela hidup menderita, seadanya, dan pas-pasan.

Ingatlah..... Sembilan bulan sepuluh hari lamanya, kita berada dalam rahim ibunda. Di masa itu, ia alami kepayahan dan penderitaan tiada tara. Ia lahirkan kita ke atas dunia ini dengan mempertaruhkan nyawanya. Bahkan, jika diharuskan memilih, mereka rela melepas nyawa, asal kita [anak yang menjadi buah hati dan tumpuan kasihnya] terlahir hidup dan selamat. Ingatlah.... Sepanjang siang dan malam hari, dengan penuh kasih sayang, tanpa berharap pamrih apa-apa, kita dijaga dan dirawatnya dengan sepenuh jiwa. Bahkan di kala kita tertidur, tak seekor nyamuk pun ia perkenankan untuk menghisap darah kita, mereka rela menahan kantuk, asal kita anaknya dapat tidur dengan nyenyak, penuh rasa aman. Bila kita menangis, dia tinggalkan segenap pekerjaan dan kesibukannya. Beliau tidak tega melihat kita menderita dan tersiksa.

Belum lagi, demi pendidikan [sekolah] kita, mereka rela berlumuran lumpur di sawah, bekerja di bawah panasnya terik matahari, pergi pagi, dan baru kembali ke rumah senja hari. Atau pergi ke sekolah, kantor, pasar atau pabrik dari pagi hingga siang, bahkan sore dan terkadang baru kembali ke rumah malam hari dalam keadaan capek dan letih. Mereka rela membanting tulang, mencari nafkah demi kehidupan masa depan kita, anaknya. Semua itu mereka jalani dengan tekun, penuh kebanggaan, tanpa rasa putus asa. Terbayang di pelupuk mata mereka, keberhasilan kita di masa depan. Itulah damba dan harapan mereka. Bahkan, di kala kita tidur pun, mereka masih bermunajat dan haturkan doa:

Ya Allah!

Berilah anakku ilmu yang bermanfaat

Bermanfaat bagi dirinya, bagi lingkungannya, dan bagi hari depannya kelak

Berikanlah kepada anakku tersayang,

yang kini sedang dihantam gelombang dan badai perjuangan

Jalan yang lempang dan mudah untuk mengapai cita dan harapannya

Tuhanku!

Bentuklah putraku menjadi manusia yang berani

Berani untuk menyadari dan mengakui kelemahan dirinya

Jadikanlah ia manusia yang tegar dalam kekalahan dan kesulitan hidup ini

Tetapi berlaku jujur, rendah hati, dan berakhlak kharimah

dalam kemenangan dan kelapangan.

Ya Allah!

Bentuklah puteraku menjadi seorang Mujahid

yang cita-citanya tidak pernah padam

dan bahkan berusaha maksimal mewujudkannya dalam karya nyata.

Ya Allah!

Buatlah puteraku insyaf bahwa mengenal dirinya sendiri

adalah landasan pengetahuan

Ya Allah!

Aku mohon agar puteraku berada di jalan yang lunak dan mudah.

Tumbuh dan Engkau pimpin dia dalam tantangan dan ujian

Agar ia dapat berdiri kokoh di tengah badai

Puteraku yang sangup meraih masa depannya

Namun tidak lupa akan masa lampaunya

Berilah puteraku kerendahan hati

Bimbing dan tuntunlah ia agar selalu mengingatmu.

Ya Allah!

Dengan begitu, aku orang tuanya dapat berbisik:

“Bahwa hidup dan pengorbananku selama ini

memang tidak sia-sia”.

*)*

Coba bayangkan..... Kenapa setelah kita besar dalam asuhan dan didikannya. Kita cenderung mengabaikannya. Teramat sering kita sakiti hatinya. Kita lontarkan kata-kata kotor dan tidak pantas kepada manusia mulia itu. Pada saat kita sukses dan jauh berada darinya. Dilayangkannya kabar-berita. Nak..... Ayah dan Ibu sudah tua, nak. Kami rindu padamu, nak. Yang kami butuhkan bukanlah uang dan hartamu, tidak pula pangkat dan jabatanmu, nak. Betapa pun tingginya kedudukanmu .... yang kami rindukan adalah kehadiranmu dan kebersamaan denganmu, nak. Pulanglah, anakku, Pulanglah, anakku, tengoklah kami orangtuamu. Nak, kami benar-benar rindu padamu.

Apa jawaban kita? Maaf, ayah... Maaf ibu, aku tidak mungkin pulang sekarang. Aku sedang sibuk. Tugas-tugas dan pekerjaanku sedang menumpuk. Kita lupakan dan abaikan kerinduan mereka. Kita ajukan berbagai dalih dan alasan untuk tidak secepatnya menyahuti harapan mereka. Bagaimana keadaannya... Bayangklan, jika beberapa waktu kemudian, disampaikan orang berita kepada kita, bahwa akibat memendam kerinduan ingin bersua anaknya, ibu jatuh sakit. Makin lama, makin berat, dan berakhir pada ajalnya. Inna lillâhi wa inna ilayhi râji’ûn......

Bagaimana sikap kita? Akankah kita baru jadi anak yang berbakti, jika keadaan seperti ini benar-benar terjadi? Jika iya, terlambat sudah, dan betapa tidak tahu dirinya kita..... Ya Allah, ampuni segala kesalahan dan dosa-dosa kami. Ayah.... Ibu, maafkan segala kesalahan kami anakmu, yang telah terlanjur mengabaikan dan melupakanmu.

Puisi: Tetes Darah Ibunda (Safari Nurzaman)

Ibu........

Doa apa yang harus kuhaturkan kehadirat Ilahi

Bagaimana aku harus menghiba penuh pasrah

Agar aku tak kehilangan engkau

Agar aku tak jauh dari engkau

Ibu..., Aku perkasa di luas kasih batinmu

Teduh dalam tatap hangat memancar ikhlas

Lekat di antara urai rambut harum aroma jiwa

Di sini, aku menangis, Ibu

Rindu suara tentang nasi goreng yang kau sajikan

Lapar sentuh jemarimu menyeka sisa keringatku

Haus nasehat agungmu di sela sibuk belajarku

Duh, Ibu.......

Mengapa jarak nusa pisahkan satu darah kita

Hening waktu ini mencari raut jelita abadimu

Rintih rindu haru kalbu

Pasang kenang jelang pulang

Pada angin kirimkan seikat senyum putihmu, Ibu

Pada bulan lemparkan sepotong kidungmu, Ibu

Agar aku tak kehilangan engkau

Agar aku tak jauh dari engkau

Ibu........

Aku anakmu yang menangis karena karismamu

Aku anakmu yang menghiba karena wibawamu

Engkau adalah matahari

Engkau adalah nyanyian hati

Engkau adalah rangkaian rasa dan asa

Aku anakmu memohon ridha

Puisi: Sepotong Doa Buat Ayah dan Ibu (Yusrizal Efendi)

Ayah................Ibu..................

Di keheningan malam yang kelam

Tanpa hiasan cahaya rembulan dan gemintang

Jiwaku lunglai mengenang betapa besar pengorbananmu

Entah dengan apa, ya Allah, tak mungkin dapat ku membalas jasanya

Takkan kubiarkan setetes air mata

jatuh membasahi pipimu

Walau.....aku anakmu,

belum mampu tuk membahagiakanmu

Ya Allah!..... Ampunilah segala dosa dan khilafku

Ya Allah!..... Ampunilah segala dosa dan kesalahan mereka

Kasinilah mereka orang tuaku sepenuhnya

Sebagaimana mereka telah mendidikku sedari kecil

Sungguh tak dapat kubalas segenap pengorbanan mereka

Ya Allah!

Naungilah mereka dengan awan keridhaan-Mu

Berkatilah kehidupan mereka dengan tetes rahmat-Mu

Lagu: Ibu (Iwan Fals)

Ribuan kilo, jalan yang kau tempuh

Lewati rintang, untuk aku anakmu

Ibuku sayang, masih terus berjalan

Walau tapak kaki, penuh darah, penuh nanah

Seperti udara, kasih yang engkau berikan

Tak mampu ku membalas.... Ibu.... Ibu

Reff: (kembali ke awal)

Ingin ku dekat, dan menangis di pangkuanmu

Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu

Lalu doa-doa, selalu kusebut.... Ibu

Dengan apa, ku membalas.... Ibu... Ibu

Nasyid: Mengemis Kasih (Raihan)

Tuhan, dulu pernah, aku menagih simpati

Kepada manusia yang alfa jua buta

Lalu terseretlah aku ke lorong gelisah

Luka hati yang berdarah kini jadi kian parah

Semalam sudah sampai ke panghujungnya

Kisah seribu duka kuharap telah berlalu

Tak ingin lagi ku ulangi kembali

Jerat dosa yang mengiris hati

Reff:

Tuhan......dosaku menggunung tinggi

Tapi rahmat-Mu melangit luas

Harga ....selautan syukurku

Hanyalah setetes nikmat-Mu di bumi

Allah........Allah..........

*)*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar