Senin, 23 Februari 2009

HADÎTS: PENGERTIAN, SINONIM, BENTUK-BENTUK, DAN STRUKTURNYA

Yusrizal Efendi, S.Ag., M.Ag.

A. Pengertian Hadîts

Menurut Abû al-Baqâ’ sebagaimana dikutip oleh al-Qasîmî ([t.th]: 61), kata hadîts dalam bahasa Arab “hadîts” merupakan bentuk isim (noun) dari “tahdîts dan bentuk tunggal (singular) dari kata “ahâdîts”. Diungkap oleh ‘Ajjâj al-Khathîb (1989: 26) dan Muh. Zuhri (1997: 1) artinya secara etimologi adalah jadîd (baru), qarîb (dekat), dan khabar (kabar, berita, perkataan, keterangan). Bagi al-Zamakhsyarî sebagai dikutip Syuhudi Ismail (1994: 1), Hadîts disebut sebagai “hadîts” antara lain karena ungkapan periwayatannya “haddatsanî anna anl-Nabî shalla Allâh ‘alayhi wa sallam qâla...”. Penyebutan hadîts dengan arti jadîd dan qarîb juga merupakan konsekuensi logis dari menyebut al-Qur`ân dengan qadîm (lama, terdahulu) dan ba’îd (jauh), karena bersumber dari Allâh SWT, sementara hadîts hanya bersumber dari utusan-Nya.

Adapun penyebutan hadîts dengan khabar; yaitu sesuatu yang diperbincangkan dan dipindahkan dari sesorang kepada orang lainnya dihubungkan dengan kata tahdîts yang berarti riwâyat, ikhbâr (meriwayatkan, mengabarkan). Allâh SWT pun menggunakan kata hadîts dengan pengertian ini, misalnya: maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (kalimat) yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar (QS. Al-Thûr/52: 34), apakah telah sampai kepadamu khabar (kisah) Musa? (QS. Thâhâ/20: 9), dan Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`ân yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang (QS. Al-Zumar/39: 23).

Di samping itu, Syuhudi Ismail (1994a: 7) menjelas-kan bahwa pemaknaan istilah hadîts juga mengalami perkembangan. Pada mulanya, kata ini berarti “kabar dan kisah” baik baru ataupun lama, seperti ungkapan Abû Hurayrah “aturîdûna an uhadditsakum bi hadîtsin min ahâdîtsikum”. Kemudian, kata hadîts diartikan dengan pesan keagamaan secara umum, seperti HR. Muslim dari Jâbir ibn ‘Abd Allâh:

...أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ...

Artinya: “... adapun sesudah itu, sebaik-baik hadîts (berita) adalah Kitâb Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ...” (Shahih Muslim, IV: 359, hadits 1435)

Setelah itu, baru istilah hadîts secara khusus dimaknai dengan Hadîts Nabawî, sebagaimana HR. Al-Bukhârî dari Abî Hurayrah, saat ia bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

Artinya: “Ya Rasûlullâh, siapakah manusia yang paling berbahagia dengan syafaat Engkau di hari kiamat”? Rasûlullâh SAW bersabda: “Wahai Abû Hurayrah, sungguh aku kira, belum ada seorang pun yang menanyakan berita ini lebih dahulu darimu. Aku lihat, engkau termasuk orang yang bersemangat terhadap hadîts (nabawî). Manusia yang paling berbhagia dengan syafatku di hari kiamat kelak adalah orang yang mengucapkan Lâ Ilâha illa Allâh (TiadaTuhan selain Allâh) dengan ikhlas dari hati atau jiwanya”. (Shahih al-Bukhari, I: 174, hadits 97)

Secara terminologi, Abû al-Baqâ’ dalam al-Qasîmî ([t.th]: 61), mendefinisikan hadîts sebagai cerita atau berita yang bersumber dari Nabi Muhammad baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya). Senada dengan itu, Rif’at Fawzî (1978: 10) memaknai hadîts dengan “apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya), maupun sifatnya”. Definisi yang lebih lengkap diungkap oleh Mushthafa al-Sibâ’î (1976: 47) dan Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb (1989: 19) yaitu “segala sesuatu yang berasal dari Rasûlullâh SAW, baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya), sifatnya, baik fisik-jasmaniah maupun akhlak-moralitas, ataupun sîrah (perjalanan hidup) beliau, baik itu sebelum beliau diutus sebagai Rasul --seperti ber-tahannuts (beribadah) di Gua Hira`-- maupun sesudahnya.

Dalam penerapannya, ulama Ushûl nampaknya cenderung menggunakan istilah hadîts dalam term Sunnah berupa Qawliyah (sabda Nabi). Mereka menilai bahwa Sunnah lebih luas cakupannya ketimbang hadîts (‘Ajjâj al-Khathîb, 1989: 27). Adapun Abdur Rauf sebagai dikutip Syuhudi Ismail (1994: 3), menerangkan bahwa hadîts mencakup hadîts Nabi, hadîts qudsî, surat yang dikirim Nabi ke berbagai daerah, sifat-sifat, perbuatan, dan akhlak Nabi yang diriwayatkan oleh shahâbat, serta perbuatan shahâbat yang dibiarkan oleh Nabi.

B. Sinonim Istilah Hadîts: Sunnah, Khabar, dan Atsar serta Perbedaannya dengan Hadits

Selain istilah hadîts, ada beberapa istilah lain yang juga bermakna sama. Di antara istilah dimaksud adalah:

1. Sunnah

Secara etimologi, menurut Ibrâhim Thâhûn (1991: 5), kata Sunnah berarti al-Tharîqat wa al-sîrat hasanatan kâna aw sayyi`atan (cara atau jalan hidup, baik terpuji maupun tercela). Dalam konteks ini, Ibn Hajr al-‘Asqalânî menyebutkan arti sunnah sebagai “tatacara atau aturan” sebagaimana HR. Al-Bukhârî dari Anas ibn Mâlik:

... فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Artinya: “... Barangsiapa yang benci terhadap tatacara atau aturan (sunnah)ku, maka ia bukanlah golongan (umat)ku”. (Shahih al-Bukhari, XV: 493, hadits 4675)

Muh Zuhri (1997: 4-5) juga menyebutkan bahwa makna lain dari sunnah yaitu “jalan yang ditempuh, kemudian diikuti orang lain, atau arah, peraturan, mode, cara berbuat, sikap hidup, dan kebiasaan (tradition). Maksudnya segala sesuatu yang pernah dilakukan oleh Rasûlullâh seolah menjadi kebiasaannya dan menjadi teladan kehidupan beliau. Makna ini sejalan dengan sabda Rasûlullâh sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Jarîr ibn ‘Abd Allâh:

...مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Artinya: “... Barangsiapa yang mengadakan kebiasaan yang baik (positif) dalam Islam, maka baginya pahala (amalan)nya ditambah pahala orang-orang yang mengamalkan kebiasaannya, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Barangsiapa yang mengadakan kebiasaan yang jelek (negatif) dalam Islam, maka atasnya dosa amalannya ditambah dosa orang-orang yang mengamalkan kebiasaannya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka”. (Shahih Muslim, V: 198, hadîts 1691)

Makna yang senada juga terdapat dalam HR. Al-Bukhârî dari Abî Sa’îd al-Khudrî:

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Artinya: “Sungguh kamu akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dab (seupa biawak), sungguh kamu memasukinya juga. Kami bertanya, “Ya Rasûlullâh, apakah mereka Yahudi dan Nasrani?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi?”. (Shahih al-Bukhârî, XXII: 298, hadîts nomor 6775)

Di samping itu, Syuhudi Ismail (1994a: 14) juga menjelaskan bahwa dalam rentang sejarah pemaknaan istilah sunnah pun cenderung mengalami perkembangan. Masyarakat Arab dahulu hingga abad I H, mengartikan sunnah sebagai jalan yang ditempuh oleh dalam kehidupan, baik secara induvidual maupun kolektif. Baru pada abad II H, dipelopori oleh Imam al-Syâfi’î populer penyebutan istilah sunnah dalam term Sunnah Nabi. Selanjutnya, pada abad IV H, ulama kalam (mutakallimîn) mendefinisikan sunnah dalam makna yang lain, yaitu i’tikad yang didasarkan pada keterangan Allâh dan Rasul-Nya, bukan kepada rasio semata (ahl al-sunnah).

Adapun definisi Sunnah secara terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskannya karena perbedaan disiplin keilmuan dan perbedaan obyek bahasan atau sudut pandangnya (side of preview). Menurut ulama hadîts, Rasûlullâh adalah pribadi teladan bagi umatnya dalam berbagai aspek kehidupannya. Dalam konteks ini, mereka “menyamakan” rumusan sunnah dengan hadîts sebagaimana telah dikutip sebelumnya.

Sementara itu, ulama ushûl memandang Rasûlullâh sebagai pengatur Undang-undang yang menjelaskan aturan hidup bagi manusia dan meletakkan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya. Sejalan dengan obyek bahasan mereka, yaitu dalil-dalil syara’, maka mereka memaknai sunnah dengan “segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain al-Qur`ân al-Karim baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya) yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’. (‘Ajjâj al-Khathîb, 1989: 19)

Adapun ulama fiqh membahas tentang hukum-hukum syara’ dan memberi pengertian hukum kepada setiap individu. Mereka mendefiniskan sunnah dengan “dengan segala sesuatu yang telah terbukti dari Nabi SAW, bukan termasuk pengertian fardhu atau wajib dalam agama, dan bukan pula bersifat taklîf (pembebanan), melainkan hanya berupa “anjuran”. (Muhammad ibn Alawi, 1995: 14). Lain lagi, ulama dakwah, mereka cenderung memposisikan sunnah sebagai lawan dari bid’ah. Hal ini disebabkan karena pembahasan mereka adalah memperhatikan perintah dan larangan syara’. (Abû Zahw, [t.th]: 9).

Pada sisi lain, Syuhudi Ismail (1994a: 14-16) mengemukakan adanya perbedaan spesifik maksud istilah sunnah dan hadîts sebagai dapat dilihat dari jabaran dalam tabel berikut:

Nama Ulama

Penjelasan maksud istilah

Hadîts

Sunnah

Sulayman al-Nadwî

Segala peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, walaupun hanya sekali beliau kerjakan dan hanya diriwayatkan seoang periwayat

Nama bagi sesuatu yang kita terima dari secara mutawatir dari Nabi SAW

A. Qadir Hasan

Berhubungan dengan masalah yang bernuansa teoritis (nazharî)

Berhubungan dengan masalah yang bersifat praktis (amalî)

Ibn al-Humâm

Riwayat berupa sabda Nabi

Riwayat berupa sabda dan perbuatan Nabi

Tawfiq Shidqi

Sabda Nabi yang diriwayatkan secara ahad, terbatas orang yang mengetahuinya, dan tidak menjadi amalan umum

Tatacara dan prilaku Nabi yang diamalkan nya terus menerus dan diikuti oleh para shahâbat

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa: (1) Dari segi subyek yang menjadi sumber asalnya, yaitu Nabi SAW, maka hadîts sama dengan sunnah. (2) Ditilik dari kualitas amaliyah dan periwayatnya, status hadîts berada di bawah sunnah, (3) Ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, bila lafal hadîts sengaja dipisah dari sunnah, maka urutannya adalah al-Qur`ân, Sunnah, dan hadîts.

2. Khabar

Secara etimologi, khabar berarti “berita”. Adapun menurut istilah, ada dua pendapat ulama tentang arti khabar, yaitu:

a. Menurut Shubhi al-Shâlih (1977: 10), sebagian ulama menyamakan khabar dengan hadits, yaitu apa yang datang dari Nabi, baik disandarkan kepada Nabi (marfû’), kepada shahabat (mawqûf), maupun kepada tabi’in (maqthû’). Adapun alasannya, dari segi bahasa arti hadits dan khabar adalah berita. Di samping itu, term perawi tidaklah terbatas bagi orang yang meriwayatkan berita dari Nabi saja, tetapi juga yang meriwayatkan berita dari shahabat dan tabi’in.

b. Menurut Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb dalam karyanya Ushûl al-Hadits: ‘Ulûmuhu wa Musthalahuhu” (1989: 27), sebagian ulama membedakan khabar dengan hadits. Hadits adalah apa yang berasal dari Nabi, sedangkan khabar adalah apa yang berasal dari selainnya. Implikasinya, orang yang menekuni hadits disebut muhaddits, sedangkan yang menggeluti sejarah disebut akhbari. Selain itu, hadits bersifat khusus dan khabar bersifat umum. Artinya, setiap hadits adalah khabar dan tidak setiap khabar adalah hadits.

3. Atsar

Secara etimologi, atsar berarti bekas, sisa sesuatu, atau nukilan.Karena itu, doa yang dinukilkan dari Nabi dinamai “Doa Ma`tsûr”. Adapun secara terminologi, ada dua pengertian atsar, yaitu:

a. Atsar sinonim dengan hadîts, sehingga ahli hadîts juga disebut atsari. Dalam hal ini, al-Thabari memakai term atsar untuk apa yang datang dari Nabi. Bahkan, al-Thahawi juga memasukkan apa yang datang dari shahabat.

b. Atsar berbeda dengan hadîts. Di mata ulama fiqh, atsar adalah perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan sebagainya. Ulama Khurazan memaknai atsar sebagai perkataan shahabat, sedangkan ak-Zarkasyi memeakai term atsar untuk hadîts mawqûf, juga membolehkan pemakaiannya untuk hadits marfû’. (M. Syuhudi Ismail, 1994a: 10).

C. Bentuk-bentuk Hadîts

1. Hadits Qawli

Hadits qawli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, ucapan, ataupun sabda yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan akidah, syariah, akhlak, atau lainnya. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Artinya: ”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)

2. Hadits Fi’li

Hadits fi’li ialah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi Muhammad saw yang sampai kepada kita. Misalnya hadits riwayat al-Bukhari dari Jabir ibn ‘Abd Allah:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة

Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat ”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)

3. Hadits Taqriri

Maksud hadits taqriri ialah Penetapan (Taqririyyah) yaitu perkataan atau perbuatan tertentu yang dilakukan oleh sahabat di hadapan Nabi Muhammad atau sepengetahuan beliau, namun beliau diam dan tidak menyanggahnya dan tidak pula menampakkan persetujuannya atau malahan menyokongnya. Hal semacam ini dianggap sebagai penetapan dari Nabi Muhammad walaupun beliau dalam hal ini hanya bersifat pasif atau diam. Sebagai contoh, pengakuan Nabi Muhammad terhadap ijtihad para sahabat berkenaan dengan shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abd Allah Ibn Umar:

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

Artinya: “Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar, kecuali (setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian mereka mendapati (waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan, kita tidak boleh shalat sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di antara kami yang membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi saw, ternyata beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka”. (Shahih al-Bukhari, III: 499, hadits 894)

4. Hadits Hammi

Hadits hammi adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi saw yang belum sempat beliau realisasikan, seperti halnya keinganan untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura sebagai diriwayatkan dari ‘Abd Allah ibn ‘Abbas:

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya: “Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada har ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan, “Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim, V: 479, hadits 1916)

5. Hadits Ahwali

Hadits ahwali adalah hadits yang menyebutkan hal ihwal Nabi saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya. Contohnya, pernyataan al-Barra` ibn ‘Azib berikut ini:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِي

Artinya: “Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”. (Shahih al-Bukhari, XI: 384, hadits 3285)

D. Struktur Hadîts

Secara struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur), matan (redaksi), dan mukharrij/rawi (periwayat). Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (I: 21, hadits 12):

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه [رواه البخاري]

Artinya: (al-Bukhari meriwayatkan) Musaddad telah me-nyampaikan hadits kepada kami. Ia mengatakan, Yahya telah menyampaikan hadts kepada kami (sebagaimana berasal) dari Syu'bah, dari Qatadah dari Anas ra dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (HR. al-Bukhari)

Dalam hal ini, sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya, maka sanad hadits bersangkutan adalah Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW

Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya. Lapisan dalam sanad itu disebut thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut. Hal ini akan dijelaskan lebih jauh dalam bahasan pembagian (klasifikasi) hadits.

Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah: (1). Keutuhan sanadnya, (2). Jumlahnya, dan (3). Perawi akhirnya (mukharrij/rawi) yaitu ulama yang mengeluarkan, mencatat, atau meriwayatkan hadits dalam kitab yang disusunnya. Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi, mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

Adapun matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya, maka matan hadits bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri". Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan. Kemudian matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan), dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

Sementara itu, Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits yang pernah ia dengar dari seseorang yang menjadi gurunya dalam kitab yang disusunnya. Istilah lainnya adalah mukharrij atau mudawwin yaitu ulama hadits yang mengeluarkan, mencatat, atau meriwayatkan hadits dalam kitab yang disusunnya. Pada dasarnya antara sanad dan rawi adalah dua istilah yang tidak terpisahkan. Sanad hadits pada setiap thabaqat [tingkatan] juga disebut rawi, dalam pengertian orang yang memindahkan atau meriwayatkan hadits. Perbedaan antara rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits.

Selasa, 10 Februari 2009

Keabsahan Bacaan Wirid Sesudah Shalat Fardhu di Tengah Masyarakat

Oleh: Yusrizal Efendi, S.Ag., M.Ag.

A. PENDAHULUAN

Dalam Haditsnya, Rasulullah pernah mengajarkan kepada para shahâbat --yang berarti juga ditujukan kepada semua umatnya-- agar sesudah shalat fardhu membiasakan membaca zikir dan doa tertentu. Hal ini kemudian lazim disebut sebagai “wirid”. (M.D.J. al-Barry dan Sofyan Hadi A.T., 2000: 322). Dalam konteks ini, Wahbah al-Zuhailî (2004: 325) mengungkapkan bahwa disunnahkan zikir kepada Allah dan berdoa dengan lafal-lafal yang dicontohkan Rasulullah SAW serta istighfâr setelah shalat. Boleh dilaksanakan setelah shalat fardhu secara langsung, apabila tidak ada shalat Sunnah ba’diyah setelahnya, seperti shalat Shubuh dan shalat ‘Ashar. Boleh juga dilaksanakan sesudah selesai melakukan shalat Sunnah ba’diyah bagi shalat Zhuhur, Maghrib, dan Isya, sebab istighfar dapat mengganti kekurangan dalam shalat. Adapun doa merupakan suatu jalan untuk mendapatkan pahala setelah mendekatkan diri kepada Allah dengan shalat.

Amalan ini sudah menjadi perkara yang diterima umum. H. Mujiburrahman (2003: 309) mengungkapkan bahwa kebiasaan yang terjadi di tengah masyarakat muslim, terutama penganut mazhab Syafi’iyah adalah bahwa setiap kali selesai shalat, khususnya shalat berjamaah, mereka berdiam dulu sebentar untuk berzikir bersama-sama dengan dipimpin oleh imam. Zikir mereka itu, biasanya dengan jahar (suara yang sedikit dikeraskan). Bahkan, hingga sekarang pun, umat Islam di berbagai tempat, tidak terkecuali di Kabupaten Tanah Datar sendiri [secara umum] juga tetap menjalankan kebiasaan tersebut.

Dalam konteks ini, tentu saja bacaan wirid yang mestinya diamalkan adalah yang bersifat ma`tsûr dari Rasulullah. Meminjam istilah M. Hasbi ash-Shiddieqy (1990: 11), “pedoman untuk mengetahui lurus dan bengkok (benar dan salah) dalam beribadah menyembah Allâh adalah ayat-ayat Allâh dalam al-Qur`ân serta Sunnah-sunnah Rasul yang telah didewankan oleh imam-imam hadîts”. Lanjutnya, orang yang memperhatikan undang-undang yang dikandung keduanya, tentulah meyakini bahwa Rasûlullâh SAW wafat setelah beliau menempatkan umatnya di tempat yang amat terang, tiada berpaling dari tempat terang benderang itu kecuali orang yang berpenyakit jiwa atau hati. (ash-Shiddieqy, 1990: 13-14). Senada dengan itu, Edi Safri (1994: 71) menegaskan bahwa kita tidak diberi hak untuk menambahi, mengurangi, memodifikasi, apalagi menciptakan model baru bagi pelaksanaan suatu ibadah. Kita hanya dituntut untuk menerima dan mengikuti sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam hal ini, orang yang menambah-nambah dan menyangka bahwa ada lagi jalan yang harus dilalui dan dikerjakan olehnya atau jamaahnya, berarti dia menyamakan pengetahuannya dengan pengetahuan Syara’. Meminjam istilah M. Hasbi ash-Shiddieqy (1990: 45), “kita tidak mencela orang beribadah, melaikan hanya menghendaki supaya orang beribadah dengan ibadah-ibadah yang nyata-nyata Nabi ada mengerjakannya. Dalam soal keduniaan, itu lain perkara”. Dengan demikian, adanya penelitian tentang masalah ini merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat diabaikan. Diungkap demikian karena kehujahan Hadîts sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an, perlu dikaji secara lebih mendalam agar keorisinilannya sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi dapat dipertanggung-jawabkan, sebab ternyata tidak semua yang disebut sebagai hadîts itu dapat diterima sebagai sumber ajaran Islam yang wajib diperpegangi dan diamalkan. Dalam hal ini, para ulama sependapat bahwa hadîts yang memenuhi syarat untuk diterima dan dijadikan sebagai hujah hanyalah hadîts yang bernilai shahîh dan hasan saja, sedangkan hadîts yang bernilai dha’îf mesti ditolak. (Mahmûd al-Thahân, [t.th.]: 29). Dengan begitu, dapat pula dinyatakan bahwa tadabbur Sunnah (Hadîts) merupakan perisai dari berbagai penyimpangan pemikiran. (Khâlid bin ‘Abd al-Karîm al-Lahîm, [t.th.]: 60).

B. METODE PENELITIAN

Berdasarkan tempatnya (Dudung Abdurrahman, 2003: 7), penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research) sekaligus penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan paradigma pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam konteks ini, data primer berupa riwayat-riwayat wirid yang biasa dibaca masyarakat sesudah shalat fardhu berjamaah pada pada masjid-masjid yang ada di Kabupaten Tanah Datar terlebih dahulu diinventarisir dan dihimpun melalui wawancara dengan informan yang mengetahui dan menguasai praktek wirid tersebut. Selain dari hasil wawancara, informasi ini akan dilengkapi dengan kuesioner berupa daftar check list terbuka mengenai bacaan wirid dimaksud. Informasi yang diperoleh dari informan dan kuesioner, kemudian akan di-cross check langsung ke lapangan melalui pengamatan terlibat (participant observation) dan wawancara dengan orang yang mempraktekkannya.

Mengingat jumlah populasi yang cukup besar, maka peneliti akan menggunakan metode purposive sampling. Dalam teknik ini, (Agustiar Syah Nur, 2003: 4-5), peneliti menentukan informan berdasarkan pengetahuan bahwa ada orang-orang tertentu yang harus dan perlu dilibatkan sebagai sample atau informan, mengingat misalnya: jabatannya, senioritasnya, keahliannya atau karena pengaruhnya yang cukup besar dalam suatu situasi sosial yang sedang diteliti.

Data primer yang telah diperoleh kemudian akan diuji validitasnya ke dalam kitab-kitab Hadîts yang mu’tamad sebagai data sekunder (dokumentasi). Jadi dalam konteks ini, metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode takhrîj al-hadîts, yaitu penelusuran atau pencarian hadîts pada berbagai kitab yang dipandang sebagai sumber asli dari hadîts yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad-nya.( M. Syuhudi Ismail, 1992: 43). Dalam konteks ini adalah menunjukkan letak suatu hadîts berarti menunjukkan sumber-sumber periwayatan hadîts tersebut, misalnya pernyataan akhrajahu al-Bukhârî fî Shahîhihi, berarti al-Bukhârî mengeluarkan hadîts dimaksud dalam kitab Shahîh-nya. Untuk ‘melacak’ hadîts-hadîts yang menjadi obyek kajian, penulis melakukan penelusuran Hadîts berdasarkan lafal (takhrîj al-hadîts bi al-lafzh) melalui CD Program Hadîts (Barnâmaj al-Hadîts) “Mawsâ’at al-Hadîts al-Syarîf al-Kutub al-Tis’ah Versi 2.00“. Di samping itu, sebagai pendukung diupayakan pula penelusuran berdasarkan kata pertama dalam matan hadîts menggunakan buku al-Jâmi’ al-Shaghîr Min Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr oleh Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî.

Setelah hadîts yang relevan dengan obyek kajian diperoleh, selanjutnya akan dianalisa dan diungkapkan tingkatan kualitas (ke-shahîh-annya). Dalam konteks ini, indikator (indicators) yang dijadikan sebagai standar untuk menguji kevalidan (ke-shahîh-an) riwayat yang dijadikan sebagai obyek kajian adalah apakah Hadîts-Hadîts tersebut terdapat dalam kutub al-Hadîts al-Tis’ah yaitu Sembilan Kitab Hadîts Terpopuler yang dianggap mu’tamad dan mu’tabarah (diterima, diperpegangi, dan dijadikan acuan oleh umumnya umat Islam) ataukah tidak. Kutub al-Hadîts al-Tis’ah dimaksud terdiri dari: Shahîh al-Bukhârî, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Nasa`î, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Ibn Mâjah, Sunan al-Dârimî, Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, dan Al-Muwaththa` Imâm Mâlik.


C. LANDASAN TEORITIS

1. Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam

Berbicara mengenai kedudukan Sunnah atau Hadîts di samping Al-Qur`ân sebagai sumber ajaran Islam, maka Al-Qur`ân adalah sumber pertama dan Sunnah adalah sumber kedua. Sunnah dinyatakan sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur`ân didasari oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Al-Qur`ân bersifat qath’î al-tsubût wa al-wurûd, keterangannya bersifat meyakinkan atau pasti karena berasal dari Allâh. Adapun Sunnah pada umumnya berstatus zhannî al-tsubût wa al-wurûd, kecuali Sunnah mutawatir yang bernilai qath’î al-tsubût wa al-wurûd. Dalam hal ini, yang qath’î (Al-Qur`ân) mesti didahulukan dari yang zhannî (Sunnah). Oleh karena itu, keyakinan kita terhadap Hadîts hanyalah secara global, bukan secara detail (tafshîlî), sedangkan al-Qur`ân, baik secara global maupun detail, diterima secara meyakinkan. Dalam konteks ini, al-Qur`ân telah mewajibkan umat Islam untuk mentaati Rasulullâh SAW, di samping mentaati Allâh (QS. Al-Nisâ`/4: 59), hukum taat kepadanya sama dengan taat kepada Allâh (QS. Al-Nisâ`/4: 80). Barang siapa yang mengikuti dan mentaatinya, maka ia akan mendapatkan petunjuk (QS. Al-A’râf/7: 158, QS. Al-Nûr/24: 54). Bahkan, mengikutinya merupakan pertanda seseorang akan dicintai Allâh dan mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya (QS. Ali Imrân/3: 31, QS. Al-Nûr/24: 56). Allâh juga memerintahkan umat manusia agar mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya (QS. Al-Hasyar/59: 7) dan memerintahkan mereka untuk memenuhi panggilannya, dan menganggap bahwa ajakannya kepada mereka merupakan sebuah kehidupan (QS. Al-Anfâl/7: 24). Allâh pun memperingatkan kita dengan cobaan dan azab yang pedih bila menentang perintahnya (QS. Al-Nûr/24: 63). Kita wajib kembali kepadanya (Sunnah) bilamana berselisih pendapat (QS. Al-Nisâ`/4: 59). Di samping itu, Allâh tidak memberikan pilihan yang lain kepada orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan dalam menerima hukum yang diputuskan oleh Rasulullâh SAW (QS. Al-Ahzâb/33: 36). Lebih dari itu, al-Qur`ân pun bersumpah menafikan iman orang-orang yang berpaling dari ketetapan hukumnya atau tidak mau menerima hukumnya dengan kerelaan dan sepenuh hati (QS. Al-Nisâ`/4: 65). Bahkan, Allâh juga menempatkan penerimaan hukumnya dan keberpalingan darinya sebagai ukuran yang membedakan antara keimanan dan kemunafikan (QS. Al-Nûr/24: 47-48, 51). Oleh sebab itu, sebagai orang yang beriman kita sangat dianjurkan untuk mengikuti jejak Rasulullâh (QS. Al-Ahzâb/33: 21).

b. Sunnah merupakan penjelas (mubayyin) dari Al-Qur`ân dan merupakan kunci pintu-pintunya. Dalam hal ini, menyampaikan risalah kepada seluruh manusia (QS. Al-Anbiyâ`/21: 107) berarti menjelaskan syariat, menerangkan secara detail dan terperinci sesuatu yang bersifat global dalam al-Qur`ân (tafshîl al-mujmal), menyingkap hal-hal yang samar dan menghilangkan kekeliruan mengenai ayat-ayat mutasyâbihât serta memberi komentar terhadap al-Qur`ân (tafsîr), dan adakalanya membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan dalam al-Qur`ân (bayân zâ`idah ‘ala al-Qur`ân). Dengan begitu, al-Qur`ân dan Sunnah adalah dua sepadan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan sesuatu yang logis bilamana Sunnah sebagai penjelasan atau komentar mengikuti al-Qur`ân yang dijelaskan atau dikomentarinya. Jadi, al-Qur`ân merupakan garis-garis besar syariat Islam yang menyeluruh, sedang Sunnah merupakan penjabaran bagian-bagiannya. Demikian penegasan Muhammad Abu Zahrah dalam Abbas Mutawali Hamadah (1997: 7-8)

c. Penjelasan Sunnah sendiri, karena Rasulullâh SAW sendiri berpesan kepada umat Islam agar senantiasa berpegang teguh dengan Al-Qur`ân dan Sunnah. Dalam hadîts yang berasal dari Mâlik ibn Anas sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ [رواه مالك]

Aku tinggalkan untukmu dua buah pedoman, yang kamu tidak akan tersesat selagi berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allâh (Al-Qur`ân) dan Sunnah Nabi-Nya. (Mâlik ibn Anas: hadîts nomor 1395)

Dalam HR. Abu Dâwud dari al-Miqdâm ibn Ma’dî Karab, Rasûlullâh pernah bersabda:

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ... [رواه أبو داود]

Ketahuilah, aku diberi al-Qur`ân dan yang semisal dengannya (Sunnah) (Abû Dâwud: hadîts nomor 3988).

4). Saat Mu’âdz ibn Jabal diutus ke Yaman, sebelum berangkat ia ditanya Nabi Muhammad, dengan apa ia akan menetapkan hukum bila ia menghadapi suatu masalah, Mu’adz menjawab: “Dengan Al-Qur`ân, kemudian dengan Sunnah. Setelah tidak menemukan hukum dalam keduanya, maka ia akan berijtihad” (Muslim: hadîts nomor 3790).

Keempat faktor di atas, menunjukkan betapa Sunnah menempati posisi yang amat strategis dalam tatanan syariat Islam. Apabila kesumberan itu diberi angka urut, maka Al-Qur`ân merupakan sumber pertama dan Sunnah merupakan sumber kedua. Hal ini di samping berdasarkan urutan yang dikemukakan Al-Qur`ân dan Sunnah, juga berdasarkan pemikiran logis bahwa Al-Qur`ân adalah firman Allâh dan Sunnah merupakan sesuatu yang berasal dari utusan Allâh. (Syuhudi Ismail, 1995: 88).

2. Rasulullâh Sebagai Uswah Hasanah

Petunjuk Al-Qur`ân yang pada umumnya masih bersifat global menyebabkan manusia mengalami kesulitan untuk memahami maksud firman Allâh itu secara tepat dan jelas. Oleh karena itu, Allâh memberikan legalitas secara khusus kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan Al-Qur`ân dan menjelaskan maksudnya kepada umat manusia. (QS. Al-Nahl/16: 44). Dalam prakteknya, Nabi Muhammad SAW merupakan personifikasi yang utuh dari ajaran Islam. Ia tidak hanya berperan sebagai penyampai dan penjelas maksud firman Allâh itu, lebih dari itu, beliau merupakan panutan utama (uswah hasanah) bagi umat Islam. Atas dasar itu, tidaklah mengherankan ketika ‘Aisyah ditanya sahabat perihal akhlak Rasulullâh yang luhur, ‘Aisyah menjawab singkat: كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ”Akhlak Rasulullâh itu adalah Al-Qur`ân” (Ahmad, Musnad: hadîts nomor 34139).

Dalam konteks ini, Rasulullâh SAW adalah pribadi yang ma’shum (terjaga dari segala perbuatan hina, dosa, dan maksiat), sehingga Sunnah-Sunnah beliau selalu dipelihara oleh Allâh dari segala apa yang menurunkan citranya sebagai seorang Rasul. (QS. Al-Najm/53: 3-4). Selain berfungsi sebagai pengemban misi risalah, Rasulullâh SAW juga berfungsi sebagai seorang manusia biasa atau basyar (QS. Al-Kahf/18: 110, QS. Fushshilat/41: 6). Dalam kesehariannya, beliau adalah seorang suami, seorang ayah, seorang anggota keluarga, seorang teman, seorang guru, seorang dai, seorang hakim, seorang panglima perang, bahkan sebagai seorang kepala negara. Predikat uswah hasanah yang beliau sandang meliputi semua fungsi tersebut. Dalam konteks ini, harus diakui bahwa sukar untuk memisahkan antara Muhammad sebagai Rasulullâh dengan Muhammad sebagai seorang manusia biasa, disebabkan titel kerasulan senantiasa melekat pada pribadi beliau. Diungkap demikian karena menurut Quraish Shihab (2000: 24), ayat yang berbicara tentang uswah terangkai dengan kata Rasulillah, laqad kâna lakum fîy Rasûlillâhi uswatun hasanah (QS. Al-Ahzâb/33: 21). Apalagi, tidak mudah memisahkan atau memilah mana pekerjaan atau ucapan yang bersumber dari kedudukan beliau sebagai Rasul dan mana pula yang dalam kedudukan lainnya. Bukankah Allâh SWT juga berfirman “wa mâ Muhammadun Illâ Rasûl” (Muhammad itu tidak lain seorang Rasul) (QS. Ali Imrân/3: 144).

Dalam konteks ini, sebagai umatnya, kita dituntut untuk menghormati dan mengagumi beliau, baik dipandang dengan kacamata kemanusiaan, logika dan ilmu pengetahuan, apalagi jika dipandang dengan kacamata agama dan akidah. Oleh sebab itu, adalah wajar jika ayat yang berbicara tentang keteladanan beliau lebih banyak ditekankan kepada orang yang beriman yang mengharapkan anugerah Ilahi dan ganjaran-Nya di akhirat kelak. Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Zamakhsyarî sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab (2000: 20) mengemukakan dua kemungkinan arti uswah (keteladanan). Pertama, kepribadian beliau secara totalitas adalah teladan, dan kedua, dalam kepribadian beliau memang terdapat hal-hal yang patut dan layak diteladani.

Kemungkinan tersebut berkaitan dengan pandangan tentang batas-batas ‘ishmah (pemeliharaan) Allâh terhadap Nabi-Nya, suatu pemeliharaan yang menjadikan beliau tidak terjerumus dalam kesalahan. Bagi yang berpandangan bahwa Rasulullâh SAW mendapat ‘ishmah (pemeliharaan) dalam segala sesuatu, berarti semua yang bersumber dari beliau pasti benar. Akan tetapi, bagi yang membatasi ‘ishmah tersebut hanya pada persoalan-persoalan agama, maka keteladanan dimaksud pun hanya terbatas pada soal-soal agama. Sejalan dengan al-Zamakhsyarî, al-Qurthubî menjelaskan lebih jauh bahwa dalam soal agama, keteladanan beliau merupakan kewajiban, tetapi dalam soal keduniaan, ia hanya merupakan anjuran. Dengan lain kata, dalam soal keagamaan, beliau wajib diteladani selama tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hal tersebut adalah anjuran. Adapun dalam persoalan keduniaan, Rasulullâh SAW sendiri telah menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada para pakar di bidang terkait. (M. Quraish Shihab, 2000: 21)

Menyikapi hal ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridhâ menegaskan bahwa orang yang sengaja berniat íttibâ’ (mengikuti) kebiasaan Rasulullâh SAW karena sangat mencintai perbuatan beliau dan mengenang kehidupan beliau yang mulia tanpa meyakini perbuatan itu sebagai agama, tanpa menimbulkan kemungkinan lain yang berbahaya yang tidak boleh dilakukan menurut syariat, maka íttibâ’ yang dilakukannnya pantas dianggap sebagai penambah kesempurnaan imannya. Dengan begitu, rasa ingat dan cintanya kepada Rasulullâh pun akan bertambah. (Yûsuf al-Qardhâwî, 1998: 40)

3. Ibadah Merupakan Sunnah Bermuatan Syariat

Sebagai figur sentral dan Nabi terakhir, otomatis ajaran-ajaran Rasulullâh SAW berlaku abadi umat Islam di berbagai tempat dan masa hingga akhir zaman. Dalam pada itu, keberadaan beliau yang berada dalam berbagai posisi dan multi fungsi harus dijadikan acuan untuk memahami hadîts-hadîts beliau terkait dengan peran apa yang sedang beliau “mainkan” (Suryadi, 2002: 139). Hal ini disebabkan karena perbuatan beliau tersebut mempunyai implikasi yang bermacam-macam terhadap syariah. Setiap sabda atau perbuatan beliau yang merupakan tablîgh dalam rangka penyampaian risalah, menjadi hukum yang sifatnya umum. Implikasinya, sabda yang bersifat perintah harus dilaksanakan setiap orang, dan sabda yang bersifat larangan semua harus menjauhinya, serta sabda yang bersifat mubah, setiap orang bebas melakukan atau meninggalkannya.

Menurut Mahmûd Syaltût (1966: 508), mengetahui hal-hal yang dilakukan Rasulullâh SAW dengan mengaitkannya kepada berbagai fungsi yang melekat pada pribadi beliau amat besar manfaatnya. Persoalan ini sangat signifikan untuk mengetahui apakah semua hal yang berkenaan dengan dengan beliau merupakan syariat yang bermuatan hukum, mengikat, dan wajib diikuti oleh umat Islam secara keseluruhan ataukah hanya wajib diikuti dalam kapasitasnya sebagai pengemban misi kerasulan saja. Lebih jauh, Mahmûd Syaltût sebagai dikutip Yûsuf al-Qardhâwî (1998: 40-42) menyatakan bahwa dalam konteks syariah, Sunnah terbagi atas:

a. Semua Sunnah yang bersumber dari Nabi dalam bentuk tabligh dalam kedudukannya sebagai Rasulullâh. Dalam hal ini, ucapan dan sikap beliau pasti benar karena semuanya bersumber langsung dari Allâh SWT atau penjelasan tentang maksud Allâh SWT. Misalnya, menjelaskan ayat-ayat al-Qur`ân yang global, mengkhususkan lafal yang umum, membatasi lafal yang mutlak, menjelaskan persoalan ibadah, halal-haram, akidah, dan akhlak. Semua itu merupakan Sunnah bermuatan syariat yang bersifat umum dan universal.

b. Sunnah yang bersumber dari beliau sebagai kepala negara (imam) dan pemimpin umum umat Islam. Misalnya, mengirim pasukan untuk berperang, mendayagunakan harta baitul mal dengan baik, melantik para hakim dan pejabat, membagi harta rampasan perang (ghanîmah), mengadakan perjanjian dan tugas-tugas kepala negara lainnya demi kemaslahatan rakyat. Status Sunnah ini bukanlah sebagai hukum syariah yang berlaku umum. Dalam konteks ini, seseorang tidak boleh melakukan hal-hal tersebut secara lancang, semaunya sendiri, sekali pun dengan dalih Nabi mengerjakan dan memerintahkannya, kecuali seizin kepala negara.

c. Sunnah yang bersumber dari beliau sebagai hakim yang memutuskan perkara dengan menggunakan bukti, keterangan saksi, sumpah, dan pembelaan. Sebagai hakim, ketetapan hukumnya secara formal pasti benar. Akan tetapi, secara material adakalanya keliru akiobat kemampuan salah satu pihak yang berselisih menyembunyikan kebenaran atau berdalih dan mengajukan bukti-bukti palsu. Dalam hal ini, kedudukan Sunnahnya juga bukan hukum syariah yang berlaku umum. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh memutuskan sendiri perkara menurut keputusannya yang ia tetapkan dengan menggunakan hukum tertentu dalam kasus perkara orang-orang tertentu di kalangan sahabat. Dalam hal ini, Rasulullâh tidak mengharuskan umatnya untuk mengikuti hal yang sama, melainkan seorang muslim harus tetap tunduk dan berpegang kepada hukum pengadilan yang berlaku. Dalam konteks ini, siapa pun yang haknya diambil orang lain, sementara yang mengambil menyangkalnya dan ia mempunyai saksi, maka ia tidak boleh mengambil sendiri haknya itu tanpa melalui proses pengadilan. Inilah cara pengambilan hak dalam perkara persengketaan hak yang berlaku pada zaman Rasulullâh.

Di antara indikator adanya misi penetapan hukum syariah adalah perhatian Rasulullâh SAW untuk menyampaikan Sunnah itu kepada masyarakat umum, keseriusan beliau dalam melaksanakannya, adanya pernyataan hukum, dan beliau menampilkannya dalam persoalan-persoalan universal. Misalnya, sabda beliau “Ketahuilah, tidak boleh ada wasiat bagi ahli waris” ( HR. Abû Dâwud, al-Nasâ`î, al-Turmudzî, Ibn Mâjah, Ahmad ibn Hanbal, dan al-Dârimî dari’Amrû ibn Khârijah, Abî Umâmah al-Bahîlî, dan Anas ibn Mâlik).

Adapun di luar itu, termasuk kategori Sunnah yang bukan merupakan hukum syariat yang berhubungan dengan perintah atau larangan, misalnya:

a. Sunnah dalam konteks hajat hidup manusia dan termasuk urusan tabi’at, seperti duduk, berdiri, makan, minum, tidur, berjalan, saling berkunjung, mendamaikan orang dengan cara yang lumrah, memberikan perantaraan, dan menawar dalam jual beli. Dalam hal ini, M. Hasbi ash-Shiddieqy (1990: 32) menegaskan apabila Nabi SAW mengerjakannya, maka menunjukkan pada ‘bolehnya’ pekerjaan itu untuk Nabi dan untuk umatnya.

b. Sunnah yang merupakan hasil eksperimen dan kebiasaan individual atau sosial. Misalnya, hadîts-hadîts mengenai pertanian, kedokteran, dan kecenderungan Rasulullâh memakai baju yang .mudah diperoleh dan sederhana. Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ sebagai dikutip Yûsuf al-Qardhâwî (1998: 37) menegaskan bahwa nuansa perintah dan larangan dalam konteks ini, oleh ulama disebut sebagai irsyâd (bimbingan atau anjuran), bukan sebagai hukum syariah, kecuali larangan yang berkonsekuensi ancaman, seperti memakai kain sutera bagi laki-laki.

c. Sunnah dalam konteks manajemen manusia dalam mengantisipasi kondisi tertentu. Umpamanya, pembagian kelompok pasukan untuk ditempatkan di pos-pos perang, mengatur barisan dalam satu pertempuran dan di barak persembunyian militer, taktik menyerang dan mundur, memilih tempat untuk kubu pertahanan, dan kebijaksanaan situasional dan kondisional lainnya. Dalam konteks ini, petunjuk-petunjuk beliau dalam hal kemasyarakatan disesuaikan dengan kondisi masyarakat tersebut, sehingga bagi masyarakat lainnya, petunjuk tersebut dapat berbeda. Hal ini disebabkan karena Rasulullâh sendiri tidak jarang memberikan petunjuk yang berbeda untuk sekian banyak orang sesuai dengan keadaan masing-masingnya. Tidak jarang pula, ada ketetapan yang beliau ubah karena kondisi masyarakat telah berbeda dengan kondisi mereka pada sat larangan itu beliau tetapkan. Misalnya sabda beliau “Saya pernah melarangmu menziarahi kubur, (tetapi) kini silahkanlah kamu menziarahinya” (HR. Muslim, Abû Dâwud, al-Nasâ`î, dan al-Turmudzî dari Buraydah ibn al-Hâshib).

Lebih jauh, Yûsuf al-Qardhâwî (1997: 33-34) menyatakan bahwa di antara Sunnah yang memiliki daya hukum, mengikat, dan wajib diikuti adalah Sunnah dalam bentuk penyampaian risalah. Termasuk dalam kategori ini, berbagai penjelasan Rasulullâh SAW tentang kandungan Al-Qur`ân, permasalahan ibadah, dan penetapan hukum halal dan haram. Lanjut Yusuf al-Qardhawi, Sunnah seperti ini bersifat universal dan mengikat untuk diikuti oleh seluruh umat Islam untuk setiap masa dan tempat. Sebagai bagian integral dari syariat Islam, ibadah yang dilakukan oleh manusia harus bersumber dari syariat Allâh. Dalam hal ini, akal manusia tidak perlu campur tangan, karena merupakan hak otoritas syariat sepenuhnya. Kedudukan manusia dalam hal ini, hanyalah mematuhi, mentaati, melaksanakan, dan menjalankannya dengan penuh ketundukan kepada Tuhan sebagai bukti pengabdian dan terima kasih kepada-Nya. (Muhaimin, dkk, 2005: 279). Dengan demikian, jelaslah bahwa sebagai bentuk rangkaian ibadah, shalat dan rangkaian wirid yang mengiringinya mutlak dilaksanakan sebagaimana dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullâh SAW.

Dalam konteks ini, Muhammad ibn Shaleh al-Utsaimin (2006: 35-39), amal ibadah seseorang tidak terhitung sebagai amal shaleh, kecuali apabila dilaksanakan secara ikhlas dan mengikuti Rasulullâh SAW (mutâba’ah). Sedangkan mengikuti Rasulullâh SAW tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam beberapa hal, yaitu: sebab melakukannya, jenisnya, kadar (bilangannya), kaifiyah (tatacaranya), waktu mengerjakannya, dan tempatnya. Meminjam ungkapan Muhammad Nashr al-Dîn al-Albânî (2005: 3), tidak mungkin kita bisa melaksanakan shalat dengan benar atau mendekati kebenaran, kecuali apabila kita mengetahui tatacara shalat Nabi SAW secara terperinci dan kewajiban-kewajiban, adab, gerakan-gerakan, doa-doa, dan dzikir-dzikir yang terdapat di dalamnya, lalu kita berkemauan keras merealisasikan hal itu dengan praktik.

Dalam konteks ini, Abdul Hamid Hakim ([t.th.]: 188) menyatakan para ulama (fuqaha`) telah merumuskan kaedah “al-ashl fî al-‘ibâdât al-tawqîf wa al-ittibâ’” (Hukum asal dalam masalah ibadah adalah menerima dan mengikuti (sebagaimana yang diajarkan Rasulullâh SAW). Kaedah lainnya “al-ashl fî al-‘ibâdât al-buthlân hatta yaqûm al-dalîl ‘ala al-`amr” (Hukum asal dalam masalah ibadah adalah batal (tidak sah dikerjakan) sehingga ada dalil yang memerintah untuk mengerjakannya). Kaedah ini menunjukkan bahwa adanya tuntutan ibadah hanya berdasarkan aturan Allâh dan Rasul-Nya. Karena jika aturan itu didasarkan kemauan manusia, niscaya akan menimbulkan keragaman dan perbedaan, dan bahkan pertikaian antara satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, keinginan untuk beribadah sebagaimana halnya praktik ibadah Rasulullâh tentu saja tidak akan tercapai, tanpa berpedoman kepada hadîts-hadîts yang beliau tinggalkan. Diungkap demikian karena dalam hadîts itulah terdapatnya petunjuk praktis atau gambaran pelaksanaan ibadah beliau didokumentasikan. Keinginan ini akan menjadi sia-sia bilamana riwayat (hadîts-hadîts) yang diamalkan tidak shahih, disanksikan ke-shahih­-annya, atau tidak dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Al-Bukhârî meriwayatkan dari ‘Aisyah, ia mengatakan, Rasulullâh SAW bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ [رواه البخاري]

“Siapa pun yang menyampaikan informasi tentang urusan kami ini yang tidak sesuai (dengan ketentuan kami), maka informasi tersebut ditolak” (al-Bukhârî: hadîts nomor 2499).

Muslim juga meriwayatkan dari ‘Aisyah telah menyampaikan hadîts kepadaku, bahwasanya Rasulullâh SAW bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ [رواه مسلم]

“Siapa pun yang mempraktekkan suatu amalan yang tidak sesuai (dengan) ketentuan kami, maka informasi tersebut ditolak”.(Muslim: hadîts nomor 2243).

Dalam konteks ini, apabila kita merasakan suatu ibadah hanya baik menurut pandangan kita, sementara ia bukan dari Sunnah Rasulullâh, maka ini merupakan wujud percobaan untuk membelakangi beliau. (Awang Yahaya, Html: 2007). Padahal Allâh berfirman “ِApa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr/59: 7). Sejalan dengan hal tersebut, Abû Dâwud meriwayatkan dari al-‘Irbâdh ibn Sâriyah. Ia mengatakan:

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ [رواه أبو داود]

“Suatu hari, kami shalat bersama Rasulullah SAW, [sesudah shalat) beliau menghadap ke arah kami lalu menyampaikan pelajaran yang amat menyentuh membuat air mata menetes dan hati bergetar. Lalu [di antara shahât] ada yang mengatakan, “Ya Rasulullah, seakan ini adalah pelajaran perrpisahan, maka apakah yang akan engkau pesankan kepada kami?”. Beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah dan hendaklah kamu mendengar dan taat kepada pemimpinmu, sekali pun ia seorang budak dari Habsy (Ethiopia). Sesungguhnya siapa pun di antaramu yang hidup sesudah aku (wafat), maka ia akan melihat banyak terjadi perselisihan. (Pada saat itu), maka kewajibanmu adalah menjaga Sunnahku dan Sunnah para Khalifah yang mendapat petunjuk lagi benar. Berpegang teguhlah kamu dengannya dan ‘gigitlah ia dengan gerahammu’ [pertahankanlah ia dengan kokoh]. Waspadalah kamu terhadap perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” (Abû Dâwud: hadîts nomor 3991).

Sehubungan dengan hadîts di atas Abâdî (1979, Juz XII: 358) memberikan penjelasan bahwa barang siapa yang mengemukakan hal-hal yang baru dalam Islam berupa sesuatu yang tidak memiliki sandaran, baik secara eksplisit maupun implisit dari al-Qur`ân maupun Sunnah, maka hal tersebut ditolak dan batal. Lebih jauh, Al-Hafizh Ibn Rajab sebagai dikutip Abâdî (1979, Juz XII: 360), menyatakan dalam Kitab Jami’ al-‘Ulûm wa al-Hikâm bahwa dalam sabda Rasulullah “wa iyyakum wa muhadditsât al-umûr” terdapat peringatan bagi umat Islam yang mengikuti perkara-perkara baru yang bernuansa bid’ah, apalagi dikuatkan dengan sabdanya “kullu bid’atin dhalâlah”. Maksud bid’ah adalah apa saja yang tidak ada dasarnya dalam syari’at. Adapun hal-hal yang ada dasarnya dari syari’at, bukanlah bid’ah menurut syari’at, walaupun mengandung arti bid’ah secara bahasa.

Sementara itu, apa yang terdapat dalam pembicaraan di kalangan salaf yang memandang baik sebagian bid’ah, maka itu dalam konteks bid’ah secara bahasa (lughah), bukan menurut syari’at. Termasuk di antaranya, pernyataan ‘Umar ibn al-Khaththâb tentang shalat Tarwîh “ni’mat al-bid’ah hadzihi” (sebaik-baik bid’ah adalah ini). Diriwayatkan juga informasi darinya “in kânat hadzihi bid’ah, fa ni’mat al-bid’ah(sekiranya ini bid’ah, maka ia bid’ah yang paling baik). Termasuk juga penambahan adzân Jum’at yang pertama oleh ‘Utsmân ibn ‘Affân karena kebutuhan masyarakat kepadanya, yang kemudian diakui, bahkan diteruskan oleh umat Islam dalam praktek.

Oleh sebab itu, amatlah tepat al-Mundzirî sewaktu membagi menjadi dua. Pertama, bid’ah yang tidak ada dasarnya, kecuali hanya mengikuti syahwat, lalu dipraktekkan sekehendak hati. Inilah bid’ah yang batal. Adapun, perkara baru yang sesuai dengan kaedah Ushûl atau dapat dikembalikan kepadanya, bukanlah bid’ah yang tergolong sesat. (Abâdî, 1979, Juz XII: 361). Dengan demikian, seseorang yang mengada-adakan suatu pekerjaan untuk mendekatkan diri kepada Allâh, baik berupa perbuatan ataupun perkataan, berarti ia telah mengadakan suatu ibadah atau membuat suatu aturan dalam agama, padahal Allâh tidak mengizinkannya. Hal ini berarti mengobah agama Allâh. Karena itulah, setiap bid’ah mengenai ibadah semata-mata, tidak ada yang baik.

Oleh karena itu, mestinya kita tidak mendekatkan diri kepada Allâh dengan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang Nabi kerjakan, tiada juga kita mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan sesuatu yang beliau tinggalkan. Tak ada perbedaan dalam urusan ibadah antara orang yang mengerjakan apa yang Nabi tinggalkan dengan orang yang meninggalkan apa yang Nabi kerjakan. (M. Hasbi ash-Shiddieqy, 1990: 34). Dalam konteks ini, sungguh tepat pernyataan A. Hassan (1994, Juz II: 744) bahwa tidak ada satu pun tambahan dalam agama yang dapat dipandang sebagai agama, karena Tuhan telah berfirman dalam QS. Al-Mâ`idah/5: 3 “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan bagimu agamamu (Islam)”. Dalam perkara agama, tidak boleh satu pun dianggap baik, jika tidak ada contoh dari Rasûlullâh SAW. Kalau dikatakan ada bid’ah hasanah dalam perkara ibadah, bahayanya bukan sedikit. Malah nanti, tidak ada kesucian agama lagi karena setiap perintah, boleh ditambah atau dikurangi dengan dalih hasanah.

C. GAMBARAN HASIL PENELITIAN

1. Pola Pembacaan Wirid

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan informan yang dinilai mengetahui dan menguasai praktek wirid tersebut yang dilengkapi dengan kuesioner berupa daftar check list terbuka yang telah penulis ketahui sebelumnya mengenai bacaan wirid dimaksud, dan juga berdasarkan pengamatan lapangan, diketahui bahwa riwayat-riwayat wirid yang biasa dibaca masyarakat sesudah shalat fardhu berjamaah pada pada masjid-masjid yang ada di Kabupaten Tanah Datar cukup variatif. Ada yang memilih membaca wirid yang singkat dan ringkas dan ada pula yang mengamalkan bacaan wirid yang panjang.

Dalam konteks ini, Penulis tidak mendapatkan keterangan dari informan mengenai adanya semacam acuan tertulis (literatur) yang baku dan mengikat mengenai bacaan wirid dimaksud. Namun demikian, di antara informan ada yang menyebut beberapa rujukan tertentu, misalnya, Asril K. Dt. Paduko Rajo (Kepala KUA Tanjuang Baru: 8 November 2007), Gusnaldi, Asnimar, dan Izhar (staf KUA Pariangan: 26 November 2007), Jama’an (Kepala KUA), Erisman (staf Kepenghuluan), Jamalus (P3N Batu Bulat) serta Jalaluddin (P3N Balai Tangah) di KUA Lintau Buo Utara (12 Desember 2007), Muslim (P3N Koto Panjang), Iswandi dan Rohaini (Staf KUA) di Kantor KUA Lintau Buo (12 Desember 2007), Aresno (Kepala KUA) dan Syafruddin (P3N Koto Gadang) di KUA Padang Ganting (12 Desember 2007), dan Syahril Tanjung (Ketua MUI/Dosen STAIN Batusangkar) pada tanggal 17 Desember 2007, seperti Kitab Perukunan Besar, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, Fiqh al-Sunnah, dan Kitâb Subul al-Salâm, namun praktek yang ditemui di lapangan tidaklah sepenuhnya mengacu pada buku-buku tersebut.

Dari 287 masjid yang terdata pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar, diketahui bahwa pada umumnya imam dan makmum pada masjid-masjid yang ada tersebut cenderung membaca wirid yang singkat dan ringkas secara berjamaah dan jahar. Hal ini dapat ditemui, pada umumnya masjid-masjid di sekitar Kecamatan V Kaum, Kenagarian Lubuk Jantan Kecamatan Lintau Buo Utara, Kecamatan X Koto, Kecamatan Batipuh, Kecamatan Sungayang, Kecamatan Sungai Tarab, Kecamatan Tanjuang Emas, Kecamatan Rambatan, Kecamatan Salimpaung, dan Kecamatan Pariangan. Adapun wirid yang relatif panjang, dari hasil wawancara dengan sejumlah informan, diketahui masih dipertahankan amaliahnya oleh masyarakat secara berjamaah dan jahar pada masjid-masjid di daerah tertentu, misalnya: Masjid Dînul Haq Tabu Baraie, Masjid Nûrul Falâh Koto Tuo, Masjid Nûrul Haq Merapi, Masjid Raya Singgalang, Masjid Ihsân Ganting, dan Masjid Hidayatullâh Sikabu (Kecamatan X Koto), Masjid Aqshâ Sabu dan Masjid al-Mubâraq Andalas (Kecamatan Batipuh), Masjid Makmûr dan Masjid Musyâhadah Tanjung Sawah Malalo, Masjid Mujâhidîn II Koto Malalo, Masjid Raya, Masjid Nûrul Hudâ, dan Masjid Taufîq Guguak Malalo, serta Masjid Raya, Masjid Nûrul Imân, dan Masjid Dârul Abrâr Baing Malalo (Kecamatan Batipuh Selatan), Masjid Baitur Rahîm Andalas dan Masjid Nûrul Falâh Baruh Bukit (Kecamatan Sungayang), Masjid Muslim Koto Baru dan Masjid Akbâr Padang Laweh (Kecamatan Sungai Tarab), Masjid Raya Balai Labuh Bawah dan Masjid Lasykar Koto Gadis (Kecamatan Lima Kaum), Masjid Taqwâ Talago Gunuang (Kecamatan Tanjung Emas), Masjid Baitur Rahîm Lareh Nan Panjang Atar, Masjid Jâmi’ul Amal Taratak VIII Atar, Masjid Taqwâ Taratak XII Atar dan Masjid Baitul Amal Koto Gadang Hilir (Kecamatan Padang Ganting), Masjid Nûr Syuhûd Bulakan Padang Magek Selatan, Masjid ‘Ubûdiyah Pauh Padang Magek Utara serta Masjid Baitul Amal dan Masjid Nûrul Aman Balimbing (Kecamatan Rambatan), Masjid Ikhlâs Bula`an, Masjid Yaqîn Tarok, Masjid Syuhadâ` XII Koto, Masjid Istiqlâl Koto Laweh, dan Masjid Istiqâmah Gunuang, Masjid al-Ihsân Ampaleh, Masjid Dârul Falâh Lompatan, serta Masjid Ihsân dan Masjid Nûrul Hudâ Kapuak Koto Panjang (Kecamatan Tanjuang Baru), Masjid Nûrul Hidayah Tabek Patah, Masjid Baitur Rahmân Koto Alam, Masjid Taqwâ Koto Tuo, dan Masjid Ikrâr Camin Taruih (Kecamatan Salimpaung), Masjid al-Muttaqîn Tigo Jangko, Masjid Dârul Hudâ Abdul Rahmân, Masjid Raya Beringin Sakti Taluk, dan Masjid Nûrul Hudâ Tigo Tumpuk Taluk (Kecamatan Lintau Buo), serta Masjid Lailatul Qadar Sialahan dan Masjid Raudhatul Muttaqîn Sikaladi (Kecamatan Pariangan)

Terjadinya variasi dalam hal ringkas atau panjangnya pembacaan wirid ini ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Imam yang menuntun wirid.

Berdasarkan wawancara dengan informan diketahui bahwa minat dan kecenderungan imam yang menuntun wirid secara berjamaah cukup dominan berpengaruh terhadap singkat atau panjangnya bacaan wirid yang akan diikuti oleh jamaah. Dalam konteks ini, adakalanya ia membaca wirid yang relatif panjang dan adakalanya pula ia memilih membaca wirid yang ringkas dan praktis. Di antara informan, seperti Jama’an (Kepala KUA), Erisman (staf Kepenghuluan), Jamalus (P3N Batu Bulat) serta Jalaluddin (P3N Balai Tangah) di KUA Lintau Buo Utara tanggal 12 Desember 2007 menyatakannya dengan “mancaliak imam” (melihat imam). Adapun caranya, “imam membaca secara jahar dan makmum mengikutinya atau mengiringinya”.

b. Komunitas jamaah

Komunitas jamaah juga berpengaruh terhadap wirid yang dibaca secara berjamaah sesudah shalat fardhu. Wirid yang relatif panjang, lumrah dibaca secara bersama-sama oleh komunitas jamaah yang diistilahkan oleh ustadz Asra’i Ismâ’îl (Kepala MTs Gurun: 11 Desember 2007) sebagai mengikuti “caro lamo atau salafi”. Sejalan dengan itu, H. Syahril Tanjung (Ketua MUI Kabupaten Tanah Datar: 17 Desember 2007) menyebutnya sebagai “warisan ulama secara turun-temurun yang disampaikan dari mulut ke mulut”. Lanjutnya, “hal ini umumnya diminati jamaah berusia tua yang memang ingin benar-benar beribadah”. Adapun bacaan wirid yang ringkas, umumnya dibaca oleh komunitas jamaah yang cukup variatif pemahaman dan relatif heterogen pula pola amaliah mereka dalam membaca wirid tersebut.

c. Tempat shalat

Dalam konteks ini, bacaan wirid yang relatif panjang lazimnya masih dipertahankan oleh komunitas jamaah yang masih memiliki tokoh atau pembimbing keagamaan ikutan. Praktek ini biasanya masih berjalan baik pada surau atau mushalla mereka masing-masing. Kondisi jamaah yang relatif homogen pemahaman dan amaliahnya tersebut sangat menopang praktek membaca wirid yang panjang itu. Adapun di masjid yang notabene jamaahnya relatif lebih beragam pola amaliahnya dalam berdzikir sesudah shalat, biasanya cenderung diamalkan bacaan wirid yang lebih singkat dan praktis.

d. Situasi dan kondisi waktu

Dalam konteks ini, di antara informan seperti Aresno (Kepala KUA) dan Syafruddin (P3N Koto Gadang di KUA Padang Ganting (12 Desember 2007) menerangkan bahwa pengamalan wirid secara berjamaah itu “melihat situasi waktu”. Dalam hal ini, apabila shalat berjamaah yang dilakukan itu mempunyai waktu yang cukup lapang dan tidak terdesak oleh berbagai aktifitas lain semisal tuntutan rutinitas pekerjaan keseharian atau lainnya, maka biasanya dibaca wirid yang relatif panjang. Kondisi demikian biasanya berlaku untuk shalat Shubuh, Maghrib, Isya, dan Jumat. Adapun untuk shalat Zhuhur dan Ashar, biasanya karena berada pada jam cukup sibuk untuk beraktifitas, maka cenderung diamalkan wirid yang singkat dan ringkas. Dalam konteks ini, Bapak Jamalus dan Bapak Jalaluddin (KUA Lintau Buo Utara: 12 Desember 2007) mengatakan argumentasinya “urang di siko banyak kojo”. Artinya, orang di sini [tempat domisilinya] mempunyai pekerjaan yang banyak dan padat sehingga cenderung memilih amalan wirid yang ringkas dan praktis. Demikian pula halnya, jika sesudah shalat Shubuh, Maghrib, Isya, dan Jumat ada kegiatan lain yang mengiringinya, terkadang dibaca saja wirid yang pendek.

2. Bacaan Wirid yang Biasa Dibaca Masyarakat Ditinjau dari Hadîts-hadîts Rasulullâh

Dari penelusuran dan pengkajian yang dilakukan, ditemukan bahwa rangkaian bacaan wirid yang biasa dibaca masyarakat secara berjamaah sesudah shalat fardhu tersebut, ada yang mempunyai dasar dan pijakan dalam riwayat hadîts yang berkualitas maqbûl (diterima). Sebagai contoh, misalnya:

لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَاحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ. وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ [3×] اللَّهُمَّ لاَمَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَانَعْتَ وَلاَ رَدَّ لِمَا قَاضَيْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ.

Bacaan wirid yang satu ini, lumrah dibaca masyarakat secara berjamaah sesudah shalat fardhu lima waktu. Separoh dari bagian pertamanya yang dibaca sebanyak tiga kali dapat ditemukan dalam kitab hadîts yang diacu. Al-Bukhârî meriwayatkan dari Warrâd Sekretaris al-Mughîrat ibn Syu’bah:

أَنَّ مُعَاوِيَةَ كَتَبَ إِلَى الْمُغِيرَةِ أَنْ اكْتُبْ إِلَيَّ بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ الْمُغِيرَةُ إِنِّي سَمِعْتُهُ يَقُولُ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنْ الصَّلَاةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالَ وَكَانَ يَنْهَى عَنْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ وَمَنْعٍ وَهَاتِ وَعُقُوقِ الْأُمَّهَاتِ وَوَأْدِ الْبَنَاتِ [رواه البخاري]

Bahwasanya Mu’âwiyah pernah berkirim surat kepada al-Mughîrah (yang isinya), “Tolong tuliskan untukku, sebuah hadîts yang pernah engkau dengar dari Rasûlullâh SAW!”. Warrâd mengatakan, lalu Al-Mughîrah membalasnya sebagai berikut: “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasûlullâh SAW ketika telah selesai dari shalatnya membaca (yang artinya): “Tidak ada Tuhan melainkan Allâh, Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan-Nya segala kerajaan dan pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (3 kali). Beliau juga melarang pembicaraan yang berlebihan, banyak bertanya (yang tidak perlu), menyia-nyiakan harta, tidak mau memberikan apa yang semestinya diberikan, mmeinta sesuatu yang bukan haknya, mendurhakai ibu, dan mengubur anak wanita hidup-hidup”. (al-Bukhârî: hadîts nomor 5992).

Bagian pertamanya yang biasa dibaca tiga kali tersebut, dalam riwayat lain dari Abî Dzâr malahan dibaca sepuluh kali, namun diungkapkan Rasûlullâh penerapannya hanya sesudah shalat Fajar (al-Turmudzî: hadîts nomor 3396) dan dalam riwayat dari ‘Umârah ibn Syabîb al-Sabba`î (al-Turmudzî: hadîts nomor 3457) dibaca sesudah shalat maghrib. Dalam riwayat itu diungkap keutamaannya, antara lain; Allâh akan berikan kemaslahatan bagi pembacanya, ditulis baginya 10 kebaikan, dihapus darinya 10 keburukan yang dapat mencelakakannya, dan ia akan mendapat pahala sebanding dengan memerdekakan 10 hamba sahaya yang berimân”.

Sejalan dengan dua riwayat terdahulu, dijelaskan juga bahwa wirid tersebut memang dibaca sesudah shalat Maghrib dan Shubuh dengan tambahan kata “بِيَدِهِ الْخَيْرُ” sebagaimana Ahmad meriwayatkan dari ‘Abd al-Rahmân ibn Ghanam (Ahmad: hadîts nomor 17305). Sementara itu, dalam hadîts lain yang lebih râjih (kuat) karena terdapat dalam Shahîh al-Bukhârî, Shahîh Muslim, dan lainnya, dijelaskan bahwa wirid ini hanya dibaca satu kali saja dan langsung disambung dengan bacaan wirid yang merupakan bagian keduanya, yang oleh jamaah masjid di Lubuk Jantan dan Tepi Selo Kecamatan Lintau Buo Utara, sering dibaca sesudah shalat Jum’at dan Maghrib. Al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, al-Nasâ`î, dan al-Dârimî meriwayatkan dari Warrâd (Sekretaris al-Mughîrah ibn Syu’bah). Ia berkata, al-Mughîrah ibn Syu’bah mendiktekan kepadaku dalam dokumen yang yang disampaikannya kepada Mu’âwiyah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ [رواه البخاري ومسلم وأبي داود والنسائي والدارمي]

Bahwasanya Rasulullâh SAW setiap kali selesai mengerjakan shalat fardhu mengucapkan: “Tidak ada Tuhan selain Allâh, Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliknya kerajaan dan pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allâh, tidak ada yang mampu mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada pula yang dapat memberikan apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kemulian orang yang mulia (di hadapan-Mu, karena) kemuliaan itu hanyalah dari-Mu”. (Al-Bukhârî: hadîts nomor 799, Muslim: hadîts nomor 933-934, Abû Dâwud: hadîts nomor 1287, al-Nasâ`î: hadîts nomor 1324-1326, dan al-Dârimî: hadîts nomor 1315).

Menurut al-Shan’ânî ([t.th], Juz I: 197), tambahan kata وَلاَ رَدَّ لِمَا قَاضَيْتَ terjadi pada versi riwayat ‘Abd ibn Humayd. Sementara itu, al-Thabrânî, menambahkan melalui jalur lain dari al-Mughîrat ibn Syu’bah sesudah sabdanya لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيت ُوَهُوَحَيٌّ لاَ َيُمِيت بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. Menurut al-Tahbarânî, para periwayatnya dinilai tsiqah (mûtsiqûn). Hal serupa juga ditegaskan al-Bazzâr dari Hadîts ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Auf dengan sanad yang shahîh. Akan tetapi, berkenaan tentang ucapan di kala Shubuh dan saat petang hari, bukannya sesudah shalat Shubuh dan sesudah shalat Maghrib. Dalam riwayat Ahmad (hadîts nomor 17437), Warrâd mengatakan, setelah itu dokumen tersebut aku serahkan kepada Mu’âwiyah, dan aku mendengar ia menyuruh orang banyak untuk mewiridkan bacaan tersebut seraya mengajarkannya kepada mereka.

Contoh lain, dari bacaan wirid yang dipaktekkan sebagian masyarakat secara berjamaah sesudah shalat fardhu yang juga berkualitas maqbûl (shahîh dan hasan) adalah ayat Kursi yaitu QS. al-Baqarah/2 ayat 255:

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS. Al-Baqarah/2: 255 atau Ayat Kursi).

Dalam kitab hadîts yang diacu, penulis tidak menemukan adanya riwayat hadîts untuk menjadikan Ayat Kursi ini sebagai wirid rutin sesudah shalat fardhu sebagaimana diamalkan oleh sebagian masyarakat. Namun demikian, Penulis mendapatkan sandaran dan pijakan wirid ini dalam riwayat hadîts Al-Nasâ`î dan al-Thabrânî dari Abî Umâmah.

عن أبي أمامة قال قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِي دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُةْلِ الْجَنَّةِ إِلاَّ أَنْ يَمُوْتَ [رواه النسائي و الطبراني]

(al-Nasâ`î meriwayatkan hadîts berasal) dari Abi Umamah, Rasulullâh SAW bersabda: “Barangsiapa yang membaca ayat Kursi (QS. Al-Baqarah/2: 255) sehabis setiap shalat, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga, kecuali maut”. (al-Nasâ`î, al-Sunan al-Kubra, VI: 30, hadits nomor 9928 dan al-Thabrânî, al-Mu’jam al-Kubrâ, VII: 122, hadîts nomor 7408).

Menurut Sa’îd ibn ‘Âlî ibn Wahf al-Qahthânî (2005: 208), al-Mundzirî berkata dalam al-Targhîb 2/261 “Hadîts ini diriwayatkan al-Nasâ`î dan al-Thabrânî dengan beberapa sanad yang salah satunya shahîh. Lanjutnya, hadîts ini dinilai shahîh oleh Muhammad Nashr al-Dîn al-Albânî dalam Shahîh al-Jâmi’ 5/339 dan dalam Silsilat al-Ahâdîts al-Shahîhah 2/679 dan 972.

Di samping itu, ada pula di antara bacaan wirid itu yang dilihat dari ‘kacamata’ ilmu hadîts berstatus mardûd, karena tidak didapati dalam kitab hadîts yang mu’tamad dan mu’tabarah, misalnya:

اَللَّهُمَّ [رَبِّ] اغْفِرْ وَارْحَمْ وأنْتَ خَيْرُ الرََّاحِمِيْنَ. أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعِظِيْمَ مِنْ كُلَِ ذَنْبٍ أَذْنَبْتُهُ عَمَدًا أَوْ خَطَأً أَوْ سَهْوًا أَوْ سِرًّا أّوْ عَلاَ نِيَةً وَّأَتُوْبُ إِلَيْهِ. وَمِنْ ذَنْبِ الَّذِيْ أَعْلَمُ وَمِنْ ذَنْبِ الَّذِيْ لاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبَ. وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ [3×]

Ya Allâh [Tuhanku] ampunilah dan sayangilah aku dan Engkaulah sebaik-baik Yang Maha Penyayang. Aku mohon ampun kepada Allâh Yang Maha Agung dari segala macam dosa, baik yang aku lakukan secara sengaja, tidak sengaja (tersalah), terlupa, terang-terangan, ataupun yang tersembunyi, dan aku bertaubat kepadanya. Aku pun mohon ampun dari dosa yang aku ketahui dan dari dosa yang tidak aku ketahui, dan Engkaulah Yang Maha Mengetahui yang gaib. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan (izin) Allâh Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung (3x)

Bacaan wirid berupa istighfâr yang lazim dipraktekkan oleh masyarakat penganut ‘tarekat dan suluk’ ini, lazimnya dibaca sesudah shalat Shubuh, shalat Magrib, dan terkadang sesudah shalat Isya yang waktunya relatif lebih panjang dan senggang dari aktifitas harian. Bacaan istighfâr ini, tidak ditemukan sanad dan riwayatnya dalam kitab hadîts yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian, baik pada Kutub al-Tis’ah maupun pada al-Jâmi’ al-Shaghîr, serta kitab sumber hadîts lainnya. Bahkan, dalam Kitâb Perukunan Besar yang ditenggarai oleh umumnya informan dan pengamal dzikir ini sebagai ‘rujukannya’, juga tidak ditemukan bacaan wirid tersebut.

Jika riwayat ini tetap disandarkan kepada Nabi SAW, padahal ia tidak mempunyai sanad (sandaran informasi) sama sekali, maka ia disebut sebagai riwayat yang “lâ ashla lahû” [tidak ada sanad atau sumbernya] dalam ilmu hadîts. (Moc. Anwar, 1981: 133). Disebabkan tanpa adanya sanad, setiap orang dapat saja menyatakan diri pernah bertemu dengan Nabi SAW dan menyampaikan hadîts, maka tepat sekali ucapan ‘Abd Allâh ibn al-Mubârak (w. 181 H), ketika ia menyatakan bahwa “Sanad itu adalah bagian dari ajaran agama. Sekiranya sanad itu tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya”. (Muslim, 1955, Juz I: 15). Begitu pentingnya kedudukan sanad untuk sebuah hadîts, maka suatu berita yang tidak ada sanad-nya, oleh ulama hadîts tidaklah dapat disebut sebagai hadîts. Jika riwayat tersebut tetap dinamakan hadîts oleh orang lain, maka ulama hadîts menyebutnya sebagai hadîts palsu (mawdhû).

Dalam pada itu, juga ditemukan juga adanya bacaan wirid yang redaksionalnya ada dalam hadîts, tetapi prakteknya tidak selaras dan berkesesuaian dengan apa yang pernah dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW berkenaan dengan waktu membacanya, seperti:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعِظِيْمَ. اَلَّذِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ [3×].

Aku mohon ampun kepada Allâh Yang Maha Agung, yang tidak ada Tuhan kecuali Dia. Dia Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya (3x). Bacaan ini dapat ditemukan dalam Moh. Rifa’i (2007: 51) dan dalam Yayasan Sosial dan Penelitian Islam ([t.th]: 11) dengan sedikit perbedaan, dimana yang diulang tiga kali hanya bacaan “astaghfir Allâh al-‘Azhîm”.

Bacaan wirid ini sudah sangat umum diamalkan oleh masyarakat secara berjamaah dan mudah ditemui di lapangan sesudah shalat fardhu lima waktu. Bilamana diperhatikan dengan seksama ke dalam kitab sumber hadîts, akan diketahui bahwa ternyata pembacaan wirid ini sesudah shalat adalah ‘sesuatu yang tidak pas dan bukan pada tempatnya’. Diungkap demikian karena sejatinya menurut hadîts, wirid ini bukan dibaca sesudah shalat, melainkan dianjurkan Nabi SAW agar dibaca sebelum tidur. Al-Turmudzî meriwayatkan dari dari Abî Sa’îd al-Khudrî ra dari Nabi SAW. Beliau bersabda:

مَنْ قَالَ حِينَ يَأْوِي إِلَى فِرَاشِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ وَإِنْ كَانَتْ عَدَدَ وَرَقِ الشَّجَرِ وَإِنْ كَانَتْ عَدَدَ رَمْلِ عَالِجٍ وَإِنْ كَانَتْ عَدَدَ أَيَّامِ الدُّنْيَا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ الْوَصَّافِيِّ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ [رواه الترمذي]

Siapa saja yang membaca sewaktu akan berbaring di tempat tidur (yang artinya) ”Aku mohon ampun kepada Allâh Yang Maha Agung, yang tidak ada Tuhan kecuali Dia. Dia Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya sebanyak tiga kali, niscaya Allâh ampuni dosa-dosanya sekalipun sebanyak buih di lautan, sekalipun sebanyak daun di pepohonan, sekalipun sebanyak butiran pasir (yang digunakan untuk) pengobatan, sekalipun sebanyak bilangan hari di dunia”. Abû ‘Îsâ (al-Turmudzî) mengatakan Hadîts ini Hasan Gharîb, kami (ulama hadîts) tidak mengenalnya kecuali dari jalur ini dari Hadîts al-Washshâfî ’Ubayd Allâh ibn al-Walîd. (al-Turmudzî: hadîts nomor 3319)

Contoh lain dari bacaan wirid yang redaksionalnya ada dalam hadîts, tetapi prakteknya tidak selaras dengan apa yang pernah dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW berkenaan dengan waktu membacanya adalah bacaan berikut:

اللهُ أَكْْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَاحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ. لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ [قَيُّوْمٌ] دَائِمٌ لاَيَمُوْتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ. سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلا إِلَهَ إَلاَّ اللهُ أَكْبَرُ,َ وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.

Allâh Maha Besar sebesar-besarnya, bagi Allâh pujian sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allâh, baik di pagi hari maupun di petang hari. Tidak ada Tuhan melainkan Allâh, Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan-Nya segala kerajaan dan pujian . Dia Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Hidup Mandiri Selamanya tidak pernah mati. Di tangan-Nya kebaikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maha Suci Allâh, segala pujian bagi Allâh, tidak ada Tuhan kecuali Allâh, Allâh Maha Besar, dan tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan (izin) Allâh Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung

Riwayat hadîts dengan lafal lengkap dan langsung seperti ini tidak didapat secara utuh dalam kitab hadîts, namun bagian-bagiannya ditemukan sebagai hadîts-hadîts yeng berbeda. Bagian pertama wirid di atas menurut hadîts sebenarnya adalah salah satu bacaan doa iftitah yang dibaca di awal shalat, setelah takbiratul ihram sebelum membaca al-Fâtihah. Muslim, al-Nasâ`î, al-Turmudzî, dan Ahmad meriwayatkan dari ‘Abd Allâh ibn ‘Umar. Ia mengatakan:

بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ الْقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ [رواه مسلم والنسائي ووالترمذي وأحمد, وللفظ لمسلم]

Sewaktu kami tengah mengerjakan shalat bersama Rasûlullâh SAW, saat itu seorang laki-laki dari jamaah membaca (doa iftitah, yang artinya): “Allâh Maha Besar sebesar-besarnya, bagi Allâh pujian sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allâh, baik di pagi hari maupun di petang hari”. Rasûlullâh SAW lalu bertanya, “Siapa tadi yang mengatakan kalimat begini?”. Laki-laki tersebut menjawab, “Saya wahai Rasûlullâh”. Beliau bersabda, “Aku merasa ta’jub terhadap kalimat (doa) itu, dibukakan bagi (pembaca)nya pintu-pintu langit. Ibn ‘Umar mengatakan,”Aku tidak pernah meninggalkan membaca kalimat itu sejak aku mendengar Rasûlullâh SAW menyabdakan yang demikian”. (Muslim: hadîts nomor 943, al-Nasâ`î: hadîts nomor 875-876, al-Turmudzî: hadit nomor 3516, dan Ahmad: hadîts nomor 4399 dan 5464)

Sementara itu, sambungannya atau bagian kedua bacaan wirid di atas mestinya dibaca saat seorang muslim saat ia terbangun di malam hari. Ibn Mâjah meriwayatkan dari ‘Ubâdah ibn al-Shâmit. Ia mengatakan, Rasûlullâh SAW bersabda:

مَنْ تَعَارَّ مِنْ اللَّيْلِ فَقَالَ حِينَ يَسْتَيْقِظُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ ثُمَّ دَعَا رَبِّ اغْفِرْ لِي غُفِرَ لَهُ قَالَ الْوَلِيدُ أَوْ قَالَ دَعَا اسْتُجِيبَ لَهُ فَإِنْ قَامَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى قُبِلَتْ صَلَاتُهُ [رواه إبن ماجة]

Siapa saja yang terbangun di malam hari, maka hendaklah waktu bangun ia membaca (yang artinya): “Tidak ada Tuhan melainkan Allâh, Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan-Nya segala kerajaan dan pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maha Suci Allâh, segala pujian bagi Allâh, tidak ada Tuhan kecuali Allâh, Allâh Maha Besar, dan tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan (izin) Allâh Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”. Kemudian (hendaklah) ia berdoa (yang artinya): “Ya Allâh, ampunilah aku”, niscaya diampuni (Allâh) baginya. Al-Walîd (ibn Muslim) mengatakan atau beliau menyaddakan: (kemudian) “Ia berdoa, niscaya dikabulkan (Allâh) baginya, maka jika ia bangkit (berdiri), lalu berwudhuk, kemudian shalat, niscaya akan diterima (Allâh) shalatnya”. (Ibn Mâjah: hadîts nomor 3868. Riwayat yang semakna juga terdapat dalam: al-Bukhârî: hadîts nomor 1086, Abû Dâwud: hadîts nomor 4401, al-Turmudzi: hadit nomor 3336, al-Dârimî: hadîts nomor 2571, dan Ahmad: hadîts nomor 21619)

Dari penjabaran di atas jelaslah bahwa menjadikan bacaan tersebut sebagai wirid sesudah shalat sebagai biasa diamalkan di tengah masyarakat, bukanlah sesuatu yang pas. Dikatakan demikian karena sejatinya bacaan tersebut menurut tuntunan Rasûlullâh SAW dibaca di waktu yang lain, bukannya sebagai wirid sesudah shalat. Dalam hal ini, satu bagiannya merupakan bacaan do’a iftitah dan bagian lainnya patutnya dibaca saat terbagun dari tidur di malam hari. Atas dasar itu, dapat dinyatakan bahwa bacaan wirid dengan lafal lengkap seperti tersebut, tidaklah tepat sasaran dan tidak sejalan dengan riwayat hadîts yang berhubungan dengan bacaan tersebut. Kita memang dituntun dan dianjurkan oleh Rasûlullâh SAW agar sesudah membaca tasbîh, tahmîd, dan takbîr seusai shalat fardhu, lalu menggenapkannya atau menutupnya menjadi 100 dengan membaca tahlîl. Akan tetapi, bacaannya adalah “Lâ ilâha illâ Allâh” atau lengkapnya “Lâ ilâha illâ Allâh wahdahu lâ syarîka lahu. Lahu al-mulku wa lahu al-hamdu wa Huwa ‘ala kulli syay`in qadîr” sebagaimana hadîts-hadîtsnya telah dikemukakan di atas. Dalam hal ini, tidak ditambah dengan kalimat “Subhânallâhi wa al-Hamdu lilâhi wa lâ Ilâha illallâh wa Allahu akbar wa lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil ‘azhîm”.

Jika diacu hadîts-hadîts yang relevan dengan bacaan ini, ditemukan adanya variasi bacaan yang lain dan lebih panjang dari wirid dimaksud. Muslim meriwayatkan dari Abî al-Zubayr (Muhammad ibn Muslim). Ia berkata, ‘Abd Allâh Ibn al-Zubayr ibn al-‘Awwâm setiap selesai shalat, setelah salam membaca:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ [رواه مسلم]

Tidak ada Tuhan selain Allâh, Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliknya kerajaan dan pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali (dengan pertolongan) Allâh. Tidak ada Tuhan selain Allâh dan kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya. Baginya nikmat, anugerah, dan pujaan yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allâh, dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, sekalipun orang-orang kafir membencinya. Ia mengatakan, “Rasulullâh SAW senantiasa mengucapkannya dengan lantang (agak keras) setiap selesai shalat”. (Muslim: hadits nomor 935, Abû Dâwud: hadits nomor 1288, al-Nasâ`î: hadits nomor 1322-1323, dan Ahmad: hadits nomor 15523 dan 15538)

Di samping itu, didapati pula adanya bacaan wirid yang redaksionalnya ada dalam hadîts, namun terdapat penambahan-penambahan lafal yang tidak dapat diterima, misalnya

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلَامُ, فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِاالسَّلَامِ وَأَدْخِلْنَا جَنَّةَ دَارَالسَّلَامِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَاذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ.

Bacaan ini dapat ditemukan dalam Yayasan Sosial dan Penelitian Islam, ([t.th]: 11) dan Moh. Rifa’i (2007: 51-52). Bacaan wirid ini umumnya diamalkan sesudah shalat lima waktu. Muslim, Abû Dâwud, al-Turmudzî, Ibn Mâjah, al-Dârimî, dan Ahmad meriwayatkan dari Tsawbân Mawlâ Rasulullah. Ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ [رواه مسلم وأبي داود والترمذي وإبن ماجه والدارمي وحمد واللفظ لمسلم]

Adalah Rasulullâh SAW apabila selesai (mengerjakan) shalat ber-istighfar (sebanyak 3x), dan membaca: “Ya Allâh, Engkaulah Pemberi Keselamatan dari-Mulah keselamatan, Maha Pemberi Berkah Engkau, (wahai) Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia”. Al-Walîd berkata, Saya bertanya kepada al-Awzâ’î, Bagaimana cara ber-istighfar itu? Ia menjawab, ucapkanlah “Astaghfirullâh, Astaghfirullâh”. (Muslim: hadîts nomor 931, Abû Dâwud: hadîts nomor 1292, al-Turmudzî: hadîts nomor 267, Ibn Mâjah: hadîts nomor 918, al-Dârimî: hadîts nomor 1314, dan Ahmad: hadîts nomor 21374, lafal hadîts riwayat Muslim)

Muslim, Abû Dâwud, dan al-Nasâ`î juga meriwayatkan dari ‘Âisyah. Ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إِلَّا مِقْدَارَ مَا يَقُولُ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ [رواه مسلم]

Adalah Rasulullâh SAW apabila selesai (mengucapkan) salam (di akhir shalat) tidaklah duduk melainkan sekedar membaca: “Ya Allâh, Engkaulah Pemberi Keselamatan dari-Mulah keselamatan, Maha Pemberi Berkah Engkau, (wahai) Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia” (Muslim: hadîts nomor 932, Abû Dâwud: hadîts nomor 1292, dan al-Nasâ`î: hadîts nomor 1321, lafal hadîts riwayat Muslim).

Menurut Ibn al-Atsîr al-Jazârî ([t.th], Juz IV: 215), sanad hadîts di atas bernilai Shahîh. Dalam konteks ini, perkataan ‘Âisyah ra bahwa Rasulullâh SAW apabila selesai (mengucapkan) salam (di akhir shalat) tidaklah duduk melainkan sekedar membaca: “Ya Allâh, Engkaulah Pemberi Keselamatan dari-Mulah keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia”, bukanlah berarti setelah itu beliau tidak membaca yang lain. Maksud hadîts ‘Âisyah ini adalah beliau tidak duduk dengan menghadap kiblat, melainkan selama membaca dzikir tersebut. Sesudah itu, beliau menghadap kepada jama’ah. (al-Qahthânî, 2005: 191-192). Hal ini sejalan dengan riwayat al-Bukhârî dari Samurah ibn Jundab. Ia mengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ [رواه البخاري]

Adalah Nabi SAW jika telah selesai (mengimami) shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami (para jamaah). (al-Bukhârî: hadîts nomor 800)

Dari sejumlah kutipan hadîts tersebut dapat dipaparkan beberapa hal sebagai berikut:

a. Formulasi bacaan istighfâr yang panjang sebagaimana biasa dibaca masyarakat secara berjamaah pada masjid-masjid yang ada tidaklah mempunyai pijakan yang relevan dalam hadîts Rasûlullâh. Dalam kitab hadîts yang diacu hanya ditemukan bacaan istighfâr yang ringkas yakni astaghfirullâh, astaghfirullâh, astaghfirullâh (3 kali).

b. Sekalipun bacaan ini secara eksplisit merupakan tambahan pernyataan al-Awzâ’î atau ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Amrû ibn Abî ‘Amrû (w. 175 H) terhadap pertanyaan muridnya, al-Walîd ibn Muslim (w. 195 H) tentang Bagaimana cara Rasûlullâh SAW ber-istighfâr, tambahan tersebut tetap dapat diterima di kalangan ulama hadîts. Hal ini disebabkan karena ia merupakan ziyâdat al-tsiqât (tambahan dari periwayat kepercayaan). Diungkap demikian karena di kalangan ulama kritik hadîts al-Awzâ’î dikenal sebagai periwayat kenamaan. Di mata Isâ ibn Yûnus ia dinilai hâfizh, Yahyâ ibn Ma’în menilainya tsiqah, dan ‘Amrû ibn al-Fallâs menyebutnya tsabat. Muhammad ibn Sa’d mengatakannya tsiqah ma`mûn dan Ya’qûb ibn Syaybah menyatakan ia tsiqah tsabat. Sementara itu, Sufyân ibn ‘Uyaynah menjulukinya sebagai imâm ahl zamânihi “imam ahli di masanya”. (Lihat: al-Barnâmaj, al-Awzâ’î, al-Ruwah, Jarh wa Ta’dîl)

c. Telah terjadi penambahan terhadap lafal asal yang telah diamalkan oleh Rasûlullâh. Dalam sabdanya Rasulullah tidak ada menyebutkan ungkapan “wa ilayka ya’ûdus salâm fahayyinâ Rabbanâ bis salâm wa adkhilnâ jannata Dâras Salâm tabârakta Rabbanâ wa ta’âlayta, ya Dzal Jalâli wal ikrâmsebagaimana sudah sangat populer dibaca oleh umumnya masyarakat. Patut disayangkan, mengapa dari sekian banyak yang riwayat shahîh mengenai lafal wirid ini tidak diamalkan, bahkan justeru lafal asal yang terbukti shahîh dari Rasulullah ditambah-ditambah.

d. Meskipun diakui bahwa makna yang terkandung dalam lafal tambahan tersebut sangat baik, yang di antaranya memohon dimasukkan ke surga, namun ia tertolak karena beberapa kaedah umum. Pertama, penambahan lafal hadîts mestilah dinukilkan dari periwayat yang tsiqah (kepercayaan) atau dalam ilmu hadîts lazim disebut ziyâdat al-tsiqah. Dalam hal ini, penambahan tersebut jelas tidak dapat diterima karena ia hanyalah nukilan dari pihak-pihak yang tidak diketahui identitasnya serta tidak bertanggungjawab. Statusnya hanyalah hadîts rekaan (palsu) bukannya hadîts shahîh. Hal ini disebabkan karena di antara bacaan wirid tersebut ada yang tidak jelas sumbernya, tidak diketahui siapa yang menyebarluaskannya atau siapa pengarang kitab hadîts yang mencatat riwayat wirid itu dalam kitabnya, dan dari mana orang yang menyebarkan wirid tersebut mendapatkannya. Kedua, Rasulullah SAW pernah melarang mengubah lafal doa, walaupun perbedaannya sangat sedikit.

عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ بِهِ قَالَ فَرَدَّدْتُهَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا بَلَغْتُ اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ قُلْتُ وَرَسُولِكَ قَالَ لَا وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ[رواه البخاري]

Hadîts berasal dari al-Barrâ` ibn ‘Âzib. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Apabila kamu mendatangi tempat tidur berwudhuklah (dengan sempurna) sebagaimana berwudhuk untuk shalat, kemudian berbaringlah di lambung kanan, kemudian ucapkanlah:

اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ

Sekiranya kamu meninggal pada malam itu, kamu berada di ats fitrah. Jadikanlah doa tersebut sebagai perkataan terakhir yang engkau ucapkan. Al-Barrâ` ibn ‘Âzib mengatakan, aku mengulang-ulang kembali doa tersebut kepada Nabi SAW sehingga sampai pada kalimat اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ, maka aku menyebut وَرَسُولِكَ (dan Rasul Engkau). Beliau bersabda, jangan, tetapi ucapkanlah وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ (dan Nabi Engkau yang telah Engkau utus. (lihat, al-Bukhârî: hadîts nomor 239)

e. Hadîts ini menunjukkan bahwa seseorang dilarang mengubah hadîts, khususnya yang berhubungan dengan lafal doa dan zikir, walaupun satu patah kata. Ini disebabkan karena lafal doa dan zikir merupakan tawqîf, yaitu bergantung pada ketentuan syara’ dari segi penetapan lafal dan penilaian pahalanya. (al-‘Asqalânî, [tth.], Juz I: 247). Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan, manakala dalam riwayat al-Turmudzî ditemukan keterangan bahwa Rasulullah SAW menunjuk-nunjuk dada sahabat (al-Barrâ` ibn ‘Âzib) agar membetulkan bacaan doa tersebut. (lihat, al-Turmudzî: hadîts nomor 2316).

Bacaan wirid lain yang redaksionalnya ada dalam hadîts, namun juga terdapat penambahan-penambahan lafal yang tidak ada dalam hadîts, adalah:

يَا أَللهُ[يَاإِلَهيِْ] يَارَبَّنَا [يَارَبِّيْ] مَعْبُوْدًا [سُبْحَانَكَ]: سُبْحَانَ اللهِ [33×]. سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ بِحَمْدِهِ دَائِماً قَائِمًا أَبَدًا: أَلْحَمْدُ للهِ [33×]. أَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَفِي كُلِّ حَالٍ وَنِعْمَةٍ: اللهُ أَكْْبَرُ [33×]

Ya Allâh [Ya Tuhanku] Ya Tuhan kami yang (pantas) Disembah [Maha Suci Engkau]: Maha Suci Allâh [33 kali]. Maha Suci Allah Yang Maha Agung, dengan senantiasa memujinya selamnya: Segala puji bagi Allâh [33 kali]. Segala puji bagi Allâh, Tuhan semesta alam atas segala situasi, dalam setiap kondisi, dan kenikmatan: Allâh Maha Besar [33 kali].

Dalam konteks ini, tidak diragukan lagi bahwa membaca tasbîh (Subhânallâh), tahmîd (al-Hamdulillâh), dan takbîr (Allâhu akbar), masing-masing 33 kali sesudah shalat fardhu memang terdapat dalam kitab hadîts. Hanya saja, kata yang merupakan pengantar dan berfungsi seolah menjadi “aba-aba” untuk melafalkannya sebagaimana biasa dipraktekkan oleh masyarakat, tidak Penulis temukan dalam kitab hadîts manapun. Kata-kata tersebut hanya dapat ditemukan dalam literatur non hadîts. Dalam Kitâb Perukunan, misalnya, ditemukan sebagai berikut: “Ilâhi Yâ Rabbî, maka dibaca ‘Subhânallâh’ 33 kali, lalu dibaca Subhâllâhi wa bihamdihî dâ`man dan dibaca ‘Alhamdu lillâh’ 33 kali, lalu pada akhirnya al-Hamdulillâhi Rabbil ‘âlamîn ‘ala kulli hâlin wa fî kulli hâlin wa ni’matin, maka dibaca ‘Allâhu akbar 33 kali”. (Yayasan Sosial dan Penelitian Islam, [t.th.]: 11).

Adapun yang ditemukan dalam kitab hadîts sehubungan dengan pembacaan wirid berupa tasbîh, tahmîd, dan takbîr tersebut adalah sebagai berikut:

1) Tasbîh, tahmîd, dan takbîr, masing-masingnya dibaca 33 kali, lalu menggenapkannya, menyempurnakannya, atau menutupnya menjadi 100 dengan membaca ‘Lâ ilâha illâ Allâh wahdahu lâ syarîka lahu,. Lahu al-mulku wa lahu al-hamdu wa Huwa ‘ala kulli syay`in qadîr’ sebagaimana riwayat dari Abî Hurayrah. (Muslim: hadîts nomor 939, Abû Dâwud: hadîts nomor 1286, Ahmad: hadîts nomor 8478, dan Mâlik: hadîts nomor 439)

2) Tasbîh, tahmîd, dan takbîr, masing-masingnya dibaca 33 kali, lalu membaca Lâ ilâha illâ Allâh 10 kali sebagaimana riwayat dari Ibn ‘Abbâs. (al-Nasâ`î: hadîts nomor 1336)

3) Tasbîh dan tahmîd, masing-masingnya dibaca 33 kali, serta takbîr dibaca 34 kali sebagaimana riwayat dari dari Ka’ab ibn ‘Ujrah dan Zaid ibn Tsâbit. (Muslim: hadîts nomor 937, al-Nasâ`î: hadîts nomor 1332 dan 1333, dan al-Turmudzî: hadîts nomor 3334)

4) Tasbîh dan tahmîd, masing-masingnya dibaca 33 kali, serta takbîr dibaca 34 kali dan Lâ ilâha illallâh 10 kali sebagaimana riwayat dari Ibn ‘Abbâs. (al-Turmudzî: hadîts nomor 375).

5) Tasbîh, tahmîd, dan takbîr, masing-masingnya dibaca 10 kali sebagaimana riwayat dari Abî Hurayrah, Abd Allâh ibn ‘Amrû, dan ‘Alî ibn Abî Thâlib. (al-Bukhârî: hadîts nomor 5854, al-Nasâ`î: hadîts nomor 1331, dan Ahmad: hadîts nomor 6210 dan 797)

6) Tasbîh, tahmîd, dan takbîr, masing-masingnya dibaca 11 kali sebagaimana riwayat dari Abî Hurayrah (Muslim: hadîts nomor 936).

7) Tasbîh, tahmîd, tahlîl, dan takbîr, masing-masingnya dibaca 25 kali sebagaimana riwayat dari Ibn ‘Umar (al-Nasâ`î : hadîts nomor 1334)

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Amalan membaca wirid setelah selesai mengerjakan shalat fardhu dengan jahar secara bersama-sama di bawah tuntunan imam adalah hal yang umum dan biasa dipraktekkan masyarakat pada masjid-masjid di Kabupaten Tanah Datar. Hanya saja, dalam prakteknya, ada bacaan wirid yang singkat dan ringkas dan ada pula yang yang panjang. Terjadinya variasi ringkas atau panjangnya bacaan wirid itu ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu kecenderungan dan kebiasaan imam yang menuntun wirid, komunitas jamaah, tempat shalat, masjid atau surau/mushalla, serta situasi dan kondisi waktu. Walaupun di antara informan ada yang menyebutkan rujukan tertentu, namun tidak ada acuan yang bersifat baku dan mengikat mengenai sumber bacaan wirid dimaksud. Hal ini disebabkan karena acuan bacaan wirid itu lebih bersifat lisan, berupa warisan secara turun-temurun yang disampaikan dari mulut ke mulut.

Dari penelusuran yang dilakukan, ditemukan bahwa rangkaian bacaan wirid yang biasa dibaca masyarakat secara berjamaah sesudah shalat fardhu tersebut, ada yang mempunyai dasar dan pijakan dalam riwayat hadîts yang berkualitas maqbûl (shahîh dan hasan) dan ada yang pula di antaranya yang berstatus mardûd, karena bernilai dha’if atau bahkan mawdhû’ (palsu). Dalam konteks ini, juga ditemukan adanya bacaan wirid yang ada dalam hadîts, tetapi tidak selaras dan berkesesuaian dengan apa yang pernah dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW berkenaan dengan waktu membacanya atau terdapat penambahan-penambahan lafal yang tidak dapat diterima. Hal ini disebabkan karena di antara bacaan wirid tersebut ada yang tidak jelas sumbernya, tidak diketahui siapa yang menyebarluaskannya atau siapa pengarang kitab hadîts yang mencatat riwayat wirid itu dalam kitabnya, dan dari mana orang yang menyebarkan wirid tersebut mendapatkannya. Padahal dalam konteks ini, Rasulullah SAW pernah melarang mengubah lafal doa, bahkan beliau pernah menunjuk-nunjuk dada sahabat (al-Barrâ` ibn ‘Âzib) agar membetulkan bacaan doa yang diajarkannya walaupun perbedaannya sangat sedikit. Dalam hal ini, ulama menegaskan bahwa sesuatu hadîts yang shahîh tidak boleh ditinggalkan, kecuali jika terdapat halangan untuk mengamalkannya, seperti hadîts tersebut sudah di-mansukh-kan oleh hadîts yang lain atau hadîts itu di-tarjîh-kan dengan hadîts yang lebih kuat dari padanya.

2. Saran-Saran

Beranjak dari penelitian yang dilakukan, kepada segenap umat Islam dan pemerhati kajian keislaman, patut dikemukakan sumbang-saran sebagai berikut:

1. Amal ibadah seseorang tidak terhitung sebagai amal shaleh, kecuali apabila dilaksanakan secara ikhlas dan mengikuti Rasulullâh SAW (mutâba’ah), maka mengikuti beliau tidak akan tercapai, kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at, baik dalam hal sebab, jenis kadar (bilangan), kaifiyat (tatacara), waktu, dan dan tempatnya. Kita tidak punya hak untuk menambahi, mengurangi, memodifikasi, apalagi menciptakan model baru bagi pelaksanaan suatu ibadah. Kita hanya dituntut untuk menerima dan mengikuti sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

2. Kekeliruan memahami Islam, sering disebabkan karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan keduanya atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu al-Qur`ân dan Sunnah, dan dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama, dan sarjana-sarjana Islam yang umumnya mereka pemahaman dan pengamalan Islam yang baik. Dalam hal ini, tadabbur Sunnah (Hadits) merupakan perisai dari berbagai penyimpangan pemikiran.

3. Kita tidak mencela orang beribadah, melainkan hanya mengkehendaki supaya orang beribadah dengan ibadah-ibadah yang nyata-nyata Nabi ada mengerjakannya atau menganjurkannya. Dalam konteks ini, bacaan yang diwiridkan sesudah shalat fardhu tersebut semestinya adalah bacaan yang ma`tsûr, yaitu ada dasar riwayatnya bahwa Nabi SAW pernah membacanya atau menyuruh para sahabat mewiridkannya. Bukankah sebaik-baik hadîts (berita) adalah Kitâb Allâh (al-Qur`ân) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasûlullâh, Muhammad SAW?. Wa Allâhu a’lâm bi al-shawâb.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abâdî, Abû al-Thayyîb Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhîm. ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud ma’a Syarh al-Hâfizh Ibn Qayyîm al-Jawziyyah, (Ed.) ‘Abd al-Rahmân Muhammad ‘Utsmân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1979 M/1399 H, cet. Ke-3, Juz XII

Abdurrahman, Dudung. Pengantar Metode Penelitian, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2003, cet. Ke-1

Abû Zahrah, Muhammad. “Kata Pengantar” dalam Abbâs Mutawali Hamâdah, Sunnah Nabi: Kedudukannya Menurut al-Qur`ân, terjemahan A. Abdus Salam, judul asli “al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî’”, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, cet. Ke-2

al-Albânî, Muhammad Nashr al-Dîn. Shifat Shalat Nabi SAW, terjemahan Anwar Rasyidi, judul asli “Shîfat Shalât Nabî Shalla Allâh Lahu ‘Alayhi wa Sallam Min al-Takbîr ila al-Taslîm Ka`annaka Tarâhâ”, Bandung: Gema Risalah Press, 2005, cet. Ke-18, edisi baru

al-Barry, M.D.J. dan Sofyan Hadi A.T. Kamus Ilmiah Kontemporer, Bandung: Pustaka Setia, 2000, cet. Ke-1

Anwar, Moc. Ilmu Mushthlah Hadîts, Surabaya: al-Ikhlas, 1981

al-‘Asqalânî, Syihâb al-Dîn ibn Abî al-Fadhl Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar. Fath al-Bârî bi Syarh al-Bukhârî, naskah di-tahqîq oleh ‘Abd al-‘Azîz ibn ‘Abd Allâh ibn Bâz, Beirut: Dâr al-Fikr, [t.th.], Juz I dan II

ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, cet. Ke-8

CD Program Hadits (Barnamaj al-Hadits) “Mawsû’at al-Hadîts al-Syarîf al-Kutub al-Tis’ah Versi 2.00

Hakim, Abdul Hamid. al-Bayân, Padang Panjang: Sa’adiyyah, [t.th.]

Hassan, A. dkk., Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Bandung: Diponegoro, 1994

Ibn al-Atsîr al-Jazârî, Majd al-Dîn Abî al-Sa’âdat al-Mubârak ibn Muhammad. Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, (Ed.) ‘Abd al-Qâdir al-Arnâwûth, [t.tp.]: Dâr al-Fikr, [t.th.]

Ismail, M. Syuhudi. Metode Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet. Ke-1

-------, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, Cet. Ke-2

al-Lahîm, Khâlid bin Abdul Karîm, Kunci-kunci Tadabbur as-Sunnah, terjemahan Abû Hudzaifah, judul asli “Mafâtih Tadabbur al-Sunnah wa al-Quwwat fî al-Hayâh”, Surakarta: Daar an-Naba`, [t.th.]

Muhaimin, dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Ed.) Marno, Jakarta: Prenada Media, 2005, cet. Ke-1

Mujiburrahman, Argumentasi Ulama Syafi’iyah Terhadap Beberapa Tuduhan Bid’ah: Sebuah Upaya Merajut Ukhuwah, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2003

al-Naysâbûrî, Abû al-Husayn Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyayrî. Shahîh Muslim, naskah disunting oleh Muhammad Fuwad ‘Abd al-Bâqî, [tt.]: Isâ al-Bâbî wa al-Halabî wa Syurakâhu, 1955, Juz I

Nur, Agustiar Syah. “Penentuan Responden dan Intsrumen”, Makalah Pelatihan Metodologi Penelitian Kualitatif Bagi Staf Pengajar STAIN Batusangkar, Batusangkar: 2002

al-Qahthânî, Sa’îd ibn ‘Al ibn Wahf. Tata Cara Shalat Nabi Saw, terjemahan Abû Khadijah ibn Abdurrahim, judul asli “Shalât al-Mu`min: Mafhûm wa Fadhâ`il wa Adâb wa Anwâ’ wa Ahkâm wa Kayfiyyah fî Dhaw`i al-Kitâb wa al-Sunnah”, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2005, cet. Ke-9

al-Qardhawi, Yusuf. Al-Sunnah Mashdaran li al-Ma’rifat wa al-Hadhârah, Beirut: Dar al-Syurq, 1997

-------, Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban: Diskursus Kontekstualisasi dan Aktualisasi Sunnah Nabi SAW Dalam IPTEK dan Peradaban, terjemahan Setiawan Budi Utomo, judul asli “Al-Sunnah Mashdaran lil Ma’rifat wa al-Hadhârah”, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, cet. Ke-1

al-Qarnî, Aid. Sifat Shalat Nabi SAW: Seakan-akan Engkau Shalat Bersama Beliau SAW, alih bahasa Mutsanna Abdul Qahar judul asli “Shallû Kamâ Ra`aytumûnî Ushallî”, Solo: Wacana Ilmiah Press, 2006, cet. Ke-2

Ridhâ, Muhammad Rasyîd. Tafsir al-Qur`ân al-Hakim (Tafsir al-Manar), Beirut: Dâr al-Ma’rifah, [t.th.], Jilid IX

Rifa’i, Moh. . Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, Semarang: PT. Toha Putra, 2007, cet. ke-357

Sâbiq, Sayyid. Fikih Sunnah: Terjemah dan Ulasan Seperlunya, terjemahan Kahar Masyhur, judul asli “Fiqh al-Sunnah“”, Jakarta: Kalam Mulia, 1986, cet. Ke-1, Jilid I

Safri, Edi, 1994. “Metodologi Pemahaman Hadits: Studi Kasus Hadits-Hadits Tanawwu’ al-Ibadah”, dalam Majalah Ilmiah al-Turats No. 8 Tahun V Juni – Agustus 1994

al-Shan’ânî (dikenal juga dengan al-Amîr), Muhammad ibn Ismâ’îl al-Kahlânî. Subul al-Salâm: Syarh Bulûgh al-Marâm Min Jami’ Adillat al-Ahkâm, Bandung: Maktabat Dahlân, [t.th], Juz I

Shihab, M. Quraish. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Quran, Bandung: Mizan, 2000, cet. ke-1

Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadits Nabi”, dalam Hamim Ilyas, dkk. (Ed.), Wacana Studi Hadîts Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002, cet. Ke-1

al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abi Bakr. al-Jâmi’ al-Shaghîr Min Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr¸ Beirut: Dâr al-Fikr, [tth.]

Syaltût, Mahmûd. Al-Islâm: al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah, Cairo: dar al-Qalm, 1966, Cet. Ke-3

Taufik, Mohammad. Al-Qur`an in MS-Word Ver. 0.0.1: Free Program untuk Memudahkan Menampilkan Ayat al-Qur`ân di Word Document.

al-Thahân, Mahmûd, Taysîr Mushthalah al-Hadîts, [t.t.]: [t.p.], [t.th.].

al-Utsaimin, Muhammad ibn Shâlih. Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah, terjemahan Ahmad Masykur. MZ, judul asli “al-Ibdâ’ fi Kamâl al-Syar’î wa Khathr al-Ibtidâ’” Riyadh: Departemen Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Kerajaan Arab Saudi, 1427 H/2006 M, cet. Ke-1

Wensinck, AJ dan YC Mansinck, Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawiy, Leiden: EJ Brill, 1967.

Yahaya, Muhammad Hanief Awang. Kesahihan Wirid Selepas Solat, tersedia dalam http://www.gogle.or.id Indonesia Html 2007, diakses Juni 2007

Yayasan Sosial dan Penelitian Islam, Kitab Perukunan Besar: Himpunan Segala Doa-doa dan Zikir Amalan yang Sangat Berfaedah Bagi Kaum Muslimin dan Muslimat Untuk Bertawajjuh Kepada Alla Azza wa Jalla, Jakarta: M.A. Jaya, [t.th.]

Zuhailî, Wahbah. Fikih Shalat: Kajian Berbagai Mazhab, terjemahan KH. Masdar Helmi, judul asli “al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu”, Bandung: Pustaka Media Utama, 2004, cet. Ke-1