Senin, 23 Februari 2009

HADÎTS: PENGERTIAN, SINONIM, BENTUK-BENTUK, DAN STRUKTURNYA

Yusrizal Efendi, S.Ag., M.Ag.

A. Pengertian Hadîts

Menurut Abû al-Baqâ’ sebagaimana dikutip oleh al-Qasîmî ([t.th]: 61), kata hadîts dalam bahasa Arab “hadîts” merupakan bentuk isim (noun) dari “tahdîts dan bentuk tunggal (singular) dari kata “ahâdîts”. Diungkap oleh ‘Ajjâj al-Khathîb (1989: 26) dan Muh. Zuhri (1997: 1) artinya secara etimologi adalah jadîd (baru), qarîb (dekat), dan khabar (kabar, berita, perkataan, keterangan). Bagi al-Zamakhsyarî sebagai dikutip Syuhudi Ismail (1994: 1), Hadîts disebut sebagai “hadîts” antara lain karena ungkapan periwayatannya “haddatsanî anna anl-Nabî shalla Allâh ‘alayhi wa sallam qâla...”. Penyebutan hadîts dengan arti jadîd dan qarîb juga merupakan konsekuensi logis dari menyebut al-Qur`ân dengan qadîm (lama, terdahulu) dan ba’îd (jauh), karena bersumber dari Allâh SWT, sementara hadîts hanya bersumber dari utusan-Nya.

Adapun penyebutan hadîts dengan khabar; yaitu sesuatu yang diperbincangkan dan dipindahkan dari sesorang kepada orang lainnya dihubungkan dengan kata tahdîts yang berarti riwâyat, ikhbâr (meriwayatkan, mengabarkan). Allâh SWT pun menggunakan kata hadîts dengan pengertian ini, misalnya: maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (kalimat) yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar (QS. Al-Thûr/52: 34), apakah telah sampai kepadamu khabar (kisah) Musa? (QS. Thâhâ/20: 9), dan Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`ân yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang (QS. Al-Zumar/39: 23).

Di samping itu, Syuhudi Ismail (1994a: 7) menjelas-kan bahwa pemaknaan istilah hadîts juga mengalami perkembangan. Pada mulanya, kata ini berarti “kabar dan kisah” baik baru ataupun lama, seperti ungkapan Abû Hurayrah “aturîdûna an uhadditsakum bi hadîtsin min ahâdîtsikum”. Kemudian, kata hadîts diartikan dengan pesan keagamaan secara umum, seperti HR. Muslim dari Jâbir ibn ‘Abd Allâh:

...أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ...

Artinya: “... adapun sesudah itu, sebaik-baik hadîts (berita) adalah Kitâb Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ...” (Shahih Muslim, IV: 359, hadits 1435)

Setelah itu, baru istilah hadîts secara khusus dimaknai dengan Hadîts Nabawî, sebagaimana HR. Al-Bukhârî dari Abî Hurayrah, saat ia bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

Artinya: “Ya Rasûlullâh, siapakah manusia yang paling berbahagia dengan syafaat Engkau di hari kiamat”? Rasûlullâh SAW bersabda: “Wahai Abû Hurayrah, sungguh aku kira, belum ada seorang pun yang menanyakan berita ini lebih dahulu darimu. Aku lihat, engkau termasuk orang yang bersemangat terhadap hadîts (nabawî). Manusia yang paling berbhagia dengan syafatku di hari kiamat kelak adalah orang yang mengucapkan Lâ Ilâha illa Allâh (TiadaTuhan selain Allâh) dengan ikhlas dari hati atau jiwanya”. (Shahih al-Bukhari, I: 174, hadits 97)

Secara terminologi, Abû al-Baqâ’ dalam al-Qasîmî ([t.th]: 61), mendefinisikan hadîts sebagai cerita atau berita yang bersumber dari Nabi Muhammad baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya). Senada dengan itu, Rif’at Fawzî (1978: 10) memaknai hadîts dengan “apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya), maupun sifatnya”. Definisi yang lebih lengkap diungkap oleh Mushthafa al-Sibâ’î (1976: 47) dan Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb (1989: 19) yaitu “segala sesuatu yang berasal dari Rasûlullâh SAW, baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya), sifatnya, baik fisik-jasmaniah maupun akhlak-moralitas, ataupun sîrah (perjalanan hidup) beliau, baik itu sebelum beliau diutus sebagai Rasul --seperti ber-tahannuts (beribadah) di Gua Hira`-- maupun sesudahnya.

Dalam penerapannya, ulama Ushûl nampaknya cenderung menggunakan istilah hadîts dalam term Sunnah berupa Qawliyah (sabda Nabi). Mereka menilai bahwa Sunnah lebih luas cakupannya ketimbang hadîts (‘Ajjâj al-Khathîb, 1989: 27). Adapun Abdur Rauf sebagai dikutip Syuhudi Ismail (1994: 3), menerangkan bahwa hadîts mencakup hadîts Nabi, hadîts qudsî, surat yang dikirim Nabi ke berbagai daerah, sifat-sifat, perbuatan, dan akhlak Nabi yang diriwayatkan oleh shahâbat, serta perbuatan shahâbat yang dibiarkan oleh Nabi.

B. Sinonim Istilah Hadîts: Sunnah, Khabar, dan Atsar serta Perbedaannya dengan Hadits

Selain istilah hadîts, ada beberapa istilah lain yang juga bermakna sama. Di antara istilah dimaksud adalah:

1. Sunnah

Secara etimologi, menurut Ibrâhim Thâhûn (1991: 5), kata Sunnah berarti al-Tharîqat wa al-sîrat hasanatan kâna aw sayyi`atan (cara atau jalan hidup, baik terpuji maupun tercela). Dalam konteks ini, Ibn Hajr al-‘Asqalânî menyebutkan arti sunnah sebagai “tatacara atau aturan” sebagaimana HR. Al-Bukhârî dari Anas ibn Mâlik:

... فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Artinya: “... Barangsiapa yang benci terhadap tatacara atau aturan (sunnah)ku, maka ia bukanlah golongan (umat)ku”. (Shahih al-Bukhari, XV: 493, hadits 4675)

Muh Zuhri (1997: 4-5) juga menyebutkan bahwa makna lain dari sunnah yaitu “jalan yang ditempuh, kemudian diikuti orang lain, atau arah, peraturan, mode, cara berbuat, sikap hidup, dan kebiasaan (tradition). Maksudnya segala sesuatu yang pernah dilakukan oleh Rasûlullâh seolah menjadi kebiasaannya dan menjadi teladan kehidupan beliau. Makna ini sejalan dengan sabda Rasûlullâh sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Jarîr ibn ‘Abd Allâh:

...مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Artinya: “... Barangsiapa yang mengadakan kebiasaan yang baik (positif) dalam Islam, maka baginya pahala (amalan)nya ditambah pahala orang-orang yang mengamalkan kebiasaannya, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Barangsiapa yang mengadakan kebiasaan yang jelek (negatif) dalam Islam, maka atasnya dosa amalannya ditambah dosa orang-orang yang mengamalkan kebiasaannya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka”. (Shahih Muslim, V: 198, hadîts 1691)

Makna yang senada juga terdapat dalam HR. Al-Bukhârî dari Abî Sa’îd al-Khudrî:

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Artinya: “Sungguh kamu akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dab (seupa biawak), sungguh kamu memasukinya juga. Kami bertanya, “Ya Rasûlullâh, apakah mereka Yahudi dan Nasrani?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi?”. (Shahih al-Bukhârî, XXII: 298, hadîts nomor 6775)

Di samping itu, Syuhudi Ismail (1994a: 14) juga menjelaskan bahwa dalam rentang sejarah pemaknaan istilah sunnah pun cenderung mengalami perkembangan. Masyarakat Arab dahulu hingga abad I H, mengartikan sunnah sebagai jalan yang ditempuh oleh dalam kehidupan, baik secara induvidual maupun kolektif. Baru pada abad II H, dipelopori oleh Imam al-Syâfi’î populer penyebutan istilah sunnah dalam term Sunnah Nabi. Selanjutnya, pada abad IV H, ulama kalam (mutakallimîn) mendefinisikan sunnah dalam makna yang lain, yaitu i’tikad yang didasarkan pada keterangan Allâh dan Rasul-Nya, bukan kepada rasio semata (ahl al-sunnah).

Adapun definisi Sunnah secara terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskannya karena perbedaan disiplin keilmuan dan perbedaan obyek bahasan atau sudut pandangnya (side of preview). Menurut ulama hadîts, Rasûlullâh adalah pribadi teladan bagi umatnya dalam berbagai aspek kehidupannya. Dalam konteks ini, mereka “menyamakan” rumusan sunnah dengan hadîts sebagaimana telah dikutip sebelumnya.

Sementara itu, ulama ushûl memandang Rasûlullâh sebagai pengatur Undang-undang yang menjelaskan aturan hidup bagi manusia dan meletakkan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya. Sejalan dengan obyek bahasan mereka, yaitu dalil-dalil syara’, maka mereka memaknai sunnah dengan “segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain al-Qur`ân al-Karim baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya) yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’. (‘Ajjâj al-Khathîb, 1989: 19)

Adapun ulama fiqh membahas tentang hukum-hukum syara’ dan memberi pengertian hukum kepada setiap individu. Mereka mendefiniskan sunnah dengan “dengan segala sesuatu yang telah terbukti dari Nabi SAW, bukan termasuk pengertian fardhu atau wajib dalam agama, dan bukan pula bersifat taklîf (pembebanan), melainkan hanya berupa “anjuran”. (Muhammad ibn Alawi, 1995: 14). Lain lagi, ulama dakwah, mereka cenderung memposisikan sunnah sebagai lawan dari bid’ah. Hal ini disebabkan karena pembahasan mereka adalah memperhatikan perintah dan larangan syara’. (Abû Zahw, [t.th]: 9).

Pada sisi lain, Syuhudi Ismail (1994a: 14-16) mengemukakan adanya perbedaan spesifik maksud istilah sunnah dan hadîts sebagai dapat dilihat dari jabaran dalam tabel berikut:

Nama Ulama

Penjelasan maksud istilah

Hadîts

Sunnah

Sulayman al-Nadwî

Segala peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, walaupun hanya sekali beliau kerjakan dan hanya diriwayatkan seoang periwayat

Nama bagi sesuatu yang kita terima dari secara mutawatir dari Nabi SAW

A. Qadir Hasan

Berhubungan dengan masalah yang bernuansa teoritis (nazharî)

Berhubungan dengan masalah yang bersifat praktis (amalî)

Ibn al-Humâm

Riwayat berupa sabda Nabi

Riwayat berupa sabda dan perbuatan Nabi

Tawfiq Shidqi

Sabda Nabi yang diriwayatkan secara ahad, terbatas orang yang mengetahuinya, dan tidak menjadi amalan umum

Tatacara dan prilaku Nabi yang diamalkan nya terus menerus dan diikuti oleh para shahâbat

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa: (1) Dari segi subyek yang menjadi sumber asalnya, yaitu Nabi SAW, maka hadîts sama dengan sunnah. (2) Ditilik dari kualitas amaliyah dan periwayatnya, status hadîts berada di bawah sunnah, (3) Ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, bila lafal hadîts sengaja dipisah dari sunnah, maka urutannya adalah al-Qur`ân, Sunnah, dan hadîts.

2. Khabar

Secara etimologi, khabar berarti “berita”. Adapun menurut istilah, ada dua pendapat ulama tentang arti khabar, yaitu:

a. Menurut Shubhi al-Shâlih (1977: 10), sebagian ulama menyamakan khabar dengan hadits, yaitu apa yang datang dari Nabi, baik disandarkan kepada Nabi (marfû’), kepada shahabat (mawqûf), maupun kepada tabi’in (maqthû’). Adapun alasannya, dari segi bahasa arti hadits dan khabar adalah berita. Di samping itu, term perawi tidaklah terbatas bagi orang yang meriwayatkan berita dari Nabi saja, tetapi juga yang meriwayatkan berita dari shahabat dan tabi’in.

b. Menurut Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb dalam karyanya Ushûl al-Hadits: ‘Ulûmuhu wa Musthalahuhu” (1989: 27), sebagian ulama membedakan khabar dengan hadits. Hadits adalah apa yang berasal dari Nabi, sedangkan khabar adalah apa yang berasal dari selainnya. Implikasinya, orang yang menekuni hadits disebut muhaddits, sedangkan yang menggeluti sejarah disebut akhbari. Selain itu, hadits bersifat khusus dan khabar bersifat umum. Artinya, setiap hadits adalah khabar dan tidak setiap khabar adalah hadits.

3. Atsar

Secara etimologi, atsar berarti bekas, sisa sesuatu, atau nukilan.Karena itu, doa yang dinukilkan dari Nabi dinamai “Doa Ma`tsûr”. Adapun secara terminologi, ada dua pengertian atsar, yaitu:

a. Atsar sinonim dengan hadîts, sehingga ahli hadîts juga disebut atsari. Dalam hal ini, al-Thabari memakai term atsar untuk apa yang datang dari Nabi. Bahkan, al-Thahawi juga memasukkan apa yang datang dari shahabat.

b. Atsar berbeda dengan hadîts. Di mata ulama fiqh, atsar adalah perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan sebagainya. Ulama Khurazan memaknai atsar sebagai perkataan shahabat, sedangkan ak-Zarkasyi memeakai term atsar untuk hadîts mawqûf, juga membolehkan pemakaiannya untuk hadits marfû’. (M. Syuhudi Ismail, 1994a: 10).

C. Bentuk-bentuk Hadîts

1. Hadits Qawli

Hadits qawli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, ucapan, ataupun sabda yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan akidah, syariah, akhlak, atau lainnya. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Artinya: ”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)

2. Hadits Fi’li

Hadits fi’li ialah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi Muhammad saw yang sampai kepada kita. Misalnya hadits riwayat al-Bukhari dari Jabir ibn ‘Abd Allah:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة

Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat ”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)

3. Hadits Taqriri

Maksud hadits taqriri ialah Penetapan (Taqririyyah) yaitu perkataan atau perbuatan tertentu yang dilakukan oleh sahabat di hadapan Nabi Muhammad atau sepengetahuan beliau, namun beliau diam dan tidak menyanggahnya dan tidak pula menampakkan persetujuannya atau malahan menyokongnya. Hal semacam ini dianggap sebagai penetapan dari Nabi Muhammad walaupun beliau dalam hal ini hanya bersifat pasif atau diam. Sebagai contoh, pengakuan Nabi Muhammad terhadap ijtihad para sahabat berkenaan dengan shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abd Allah Ibn Umar:

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

Artinya: “Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar, kecuali (setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian mereka mendapati (waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan, kita tidak boleh shalat sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di antara kami yang membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi saw, ternyata beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka”. (Shahih al-Bukhari, III: 499, hadits 894)

4. Hadits Hammi

Hadits hammi adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi saw yang belum sempat beliau realisasikan, seperti halnya keinganan untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura sebagai diriwayatkan dari ‘Abd Allah ibn ‘Abbas:

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya: “Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada har ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan, “Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim, V: 479, hadits 1916)

5. Hadits Ahwali

Hadits ahwali adalah hadits yang menyebutkan hal ihwal Nabi saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya. Contohnya, pernyataan al-Barra` ibn ‘Azib berikut ini:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِي

Artinya: “Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”. (Shahih al-Bukhari, XI: 384, hadits 3285)

D. Struktur Hadîts

Secara struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur), matan (redaksi), dan mukharrij/rawi (periwayat). Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (I: 21, hadits 12):

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه [رواه البخاري]

Artinya: (al-Bukhari meriwayatkan) Musaddad telah me-nyampaikan hadits kepada kami. Ia mengatakan, Yahya telah menyampaikan hadts kepada kami (sebagaimana berasal) dari Syu'bah, dari Qatadah dari Anas ra dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (HR. al-Bukhari)

Dalam hal ini, sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya, maka sanad hadits bersangkutan adalah Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW

Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya. Lapisan dalam sanad itu disebut thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut. Hal ini akan dijelaskan lebih jauh dalam bahasan pembagian (klasifikasi) hadits.

Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah: (1). Keutuhan sanadnya, (2). Jumlahnya, dan (3). Perawi akhirnya (mukharrij/rawi) yaitu ulama yang mengeluarkan, mencatat, atau meriwayatkan hadits dalam kitab yang disusunnya. Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi, mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

Adapun matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya, maka matan hadits bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri". Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan. Kemudian matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan), dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

Sementara itu, Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits yang pernah ia dengar dari seseorang yang menjadi gurunya dalam kitab yang disusunnya. Istilah lainnya adalah mukharrij atau mudawwin yaitu ulama hadits yang mengeluarkan, mencatat, atau meriwayatkan hadits dalam kitab yang disusunnya. Pada dasarnya antara sanad dan rawi adalah dua istilah yang tidak terpisahkan. Sanad hadits pada setiap thabaqat [tingkatan] juga disebut rawi, dalam pengertian orang yang memindahkan atau meriwayatkan hadits. Perbedaan antara rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar