Selasa, 10 Februari 2009

PENETAPAN AWAL BULAN RAMADHAN DAN SYAWAL DALAM PERSPEKTIF HADITS

Oleh: Yusrizal Efendi, S. Ag., M. Ag.

A. Pendahuluan

Uraian al-Qur`ân mengenai puasa Ramadhân dapat ditemukan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 183, 184, 185, dan 187. Mengingat al-Baqarah adalah bagian dari surat-surat al-Qur`an yang turun setelah Nabi Muhammad saw., hijrah dari Makkah ke Madinah (al-Madaniyyah), maka ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhân baru diwajibkan setelah Nabi Muhammad saw., tiba di Madinah. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila sejarahwan berpendapat bahwa kewajiban melaksanakannya baru ditetapkan Allâh pada tanggal 10 Sya’bân tahun kedua hijrah (Quraish Shihab, 1996: 523). Sejalan dengan itu, Yûsuf al-Qardhâwî sebagaimana dikutip oleh Aziz Dahlan (1997, IV: 1423) mengatakan bahwa puasa Ramadhân disyari’atkan Allâh setelah arah kiblat shalat dipalingkan dari Masjid al-Aqshâ di Palestina ke Ka’bah (Masjid al-Haram) di Makkah.

Berkenaan dengan proses penetapan kewajiban puasa Ramadhân itu, apakah langsung sebulan penuh ataukah melalui tahapan, sementara ulama tafsir seperti al-Qurthubî (1993, II: 275) cenderung memahami ungkapan “ayyâman ma’dûdat” pada awal ayat 184 surat al-Baqarah (2) itu sebagai “puasa selama tiga hari dalam setiap bulan ditambah dengan puasa pada hari ‘Asyura sebagai tahapan awal dari kewajiban puasa dalam Islam. Waktu inilah yang kemudian diganti dan diperpanjang menjadi puasa bulan Ramadhân, sesuai dengan turunnya surat al-Baqarah (2) ayat 185 yang menegaskan:

Artinya: …Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhân), maka hendaklah ia berpuasa selama bulan itu…

Pendapat ini dinilai Quraish Shihab (1996: 523) cenderung menjadikan ayat-ayat tentang puasa Ramadhân terputus-putus, bukan lagi sebagai suatu kesatuan. Menurutnya, al-Qur`ân mewajibkan puasa Ramadhân langsung selama satu bulan (Ramadhân) tanpa penahapan. Lanjutnya, walaupun Nabi Muhammad saw., dan para sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya, namun itu bukanlah kewajiban dari al-Qur`ân, sebab memang tidak ada satu ayat pun yang berbicara mengenai puasa sunnah tertentu. Dengan demikian, kenyataan ini agak berbeda dengan sikap al-Qur`ân yang seringkali bertahap dalam menyampaikan kewajibannya.

Adapun mengenai pelaksanaannya, Rasulullah saw., menyuruh umat Islam agar memulai puasa dan berhari raya atas dasar melihat bulan (hilâl) tanggal satu Qamariyah, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain dari Abî Hurayrah, ‘Abd Allâh bin ‘Umar, dan lain-lain:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Artinya: Berpuasalah kamu karena telah melihat bulan (tanggal satu Ramadhân) dan berhari rayalah kamu setelah melihat bulan (tanggal satu Syawâl). Apabila (cuaca di langit menjadikan bulan) terlindung dari (pemandangan) kamu, maka sempurnakanlah (bilangan hari untuk) bulan Sya’bân (menjadi) 30 hari. (Lihat: al-Bukhârî, 1981, II: 229, Muslim, [tth.,] III: 122-124, dan 127, Abû Dâwud, [tth.,] II: hadis nomor 2327, al-Nasâ`î, 1991, IV: hadis nomor 2116-2129, dan 2188, al-Tirmidzî, [tth.,] II: hadis nomor 679 dan 683, Ibn Mâjah, [tth.,] I: hadis nomor 1654 dan 1655, Ahmad, [tth.,] I: 221, 226, dan lain-lain, al-Dârimî, [tth.,] II: 2-3, dan Mâlik, [tth.,]: hadis nomor 633-635, dengan lafal al-Bukhârî)

Hadis tersebut di atas menganjurkan kepada umat Islam agar melakukan puasa Ramadhân sebulan penuh, tanpa menyia-nyiakan satu hari pun, atau melakukan puasa pada hari selain bulan Ramadhân (baik Sya’bân maupun Syawâl). Oleh sebab itu, puasa harus dilakukan setelah terbukti masuknya bulan Ramadhân hingga keluarnya bulan suci itu. Sesuai dengan kondisi umat Islam pada saat itu --yang pada umumnya masih buta huruf; mereka tidak pandai membaca, menulis, dan melakukan hisab awal bulan Qamariyah yakni perhitungan tahun berdasarkan peredaran bulan-- cara yang ditempuh adalah melihat hilâl (bulan tanggal satu) dengan penglihatan mata kepala. Kondisi ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain dari ‘Abd Allâh bin ‘Umar berikut:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

Artinya: Kami umat yang ummi, tidak pandai menulis dan tidak pandai menghitung (melakukan hisab). Bulan itu (bilangan harinya) begini dan begini, yakni adakalanya berumur 29 hari dan adakalanya berumur 30 hari. (Lihat: al-Bukhârî, 1981, II: 230, Muslim, [tth.,] III: 124, Abû Dâwud, [tth.,] II: hadis nomor 2139 dan 2140, Ahmad, [tth.,] II: 43, 52, dan lain-lain, dengan lafal al-Bukhârî)

Pada masa itu (juga sampai sekarang), melihat bulan dengan mata telanjang merupakan cara yang praktis dan dapat dilakukan oleh (hampir) semua orang. Agaknya, itulah sebabnya kenapa Nabi Muhammad saw., pun menetapkan cara itu untuk mengetahui hilâl. Seandainya umat Islam pada masa itu dibebani untuk menggunakan perhitungan ilmu falak, tentu mereka akan mengalami kesulitan untuk menjalankan ibadah puasa.

Namun begitu, harus diakui bahwa cara melihat hilâl secara alamiah ini sering menimbulkan ketimpangan. Penetapan awal Ramadhân tahun 1989 umpamanya. Kuwait, Qatar, Bahrain, Tunis, dan negara lainnya yang mengikuti ru`yah yang dilakukan oleh Arab Saudi, telah mengawali puasa Ramadhân pada hari Kamis tanggal 6 April 1989. Namun di Mesir, Yordania, Irak, Aljazair, Maroko, dan sejumlah negara lainnya terbukti bahwa awal bulan Ramadhân jatuh pada hari Jum’at tanggal 7 April 1989. Sementara itu, di Pakistan, India, Amman, Iran, dan negeri-negeri lainnya, umat Islam baru melakukan puasa keesokan harinya, yaitu Sabtu tanggal 8 April 1989 (Yûsuf al-Qadhâwî, 1996: 173). Kondisi yang lebih kurang sama, juga dialami umat Islam di tanah air saat merayakan Idul Fitri, 1 Syawal 1427 H. Sebagian umat Islam telah menunaikan shalat ‘Id dan berhari raya pada hari Senin tanggal 23 Oktober 2007, namun sebagian lainnya baru berlebaran keesokan harinya, Selasa tanggal 24 Oktober 2007 sesuai dengan ketetapan resmi pemerintah. Sebuah kenyataan yang mestinya bisa diantisipasi dan dihindari karena menyebabkan syiar dan suasana lebaran tidak begitu semarak saat jatuh pada hari yang sama.

Padahal Nabi saw., dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain dari Abû Hurayrah telah melarang umat Islam melakukan puasa Ramadhân sebelum kemunculan hilâl meskipun hanya satu atau dua hari saja (al-Bukhârî, 1981, II: 330, Muslim, [tth.,] III: 125, Abû Dâwud, [tth.,] II: hadis nomor 2335, al-Nasâ`î, 1991, IV: hadis nomor 2188 dan 2189, al-Tirmidzî, [tth.,] II: hadis nomor 679, 680, dan 682, Ibn Mâjah, [tth.,] I: hadis nomor 1646 dan 1647, al-Dârimî, [tth.,] II: 4, dan lain-lain). Bahkan, al-Bukhârî, Abû Dâwud, al-Nasâ`î dan lain-lain meriwayatkan hadis dari Abû Hurayrah bahwa ‘Ammâr bin Yasâr dalam sebuah hadis mawqûf menyatakan:

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya: Siapa yang berpuasa pada hari yang (kemunculan bulan tanggal satu Ramadhân) disangsikan pada hari itu, berarti ia telah durhaka terhadap Nabi Muhammad saw., (al-Bukhârî, 1981, II: 229, Abû Dâwud, [tth.,] II: hadis nomor 2334, al-Nasâ`î, 1991, IV: hadis nomor 2187, al-Tirmidzî, [tth.,] II: hadis nomor 681, Ibn Mâjah, [tth.,] I: hadis nomor 1645, al-Dârimî, [tth.,] II: 2, dan lain-lain, dengan lafal al-Nasâ`î).

Beranjak dari persoalan di atas, menarik untuk dikaji bagaimana sebenarnya cara yang lebih tepat dan akurat untuk menetapkan awal bulan Ramadhân dan Syawâl tersebut berdasarkan petunjuk hadis-hadis Rasulullah saw., sebab sudah seharusnya umat Islam dapat secara serempak memulai puasa dan merayakan ‘Idul Fithrî, serta ‘Idul Adhâ, sehingga tampaklah kesatuan syi’ar dan ibadahnya.

B. Hadis-hadis tentang Cara Penetapan Awal Bulan Ramadhân dan Syawâl

Hadis-hadis sahih menyebutkan bahwa untuk menetapkan awal bulan Ramadhân khususnya dapat ditempuh dengan salahsatu dari tiga cara berikut:

1. Dengan melihat bulan secara langsung (ru`yat al-hilâl bi al-‘ayn)

Masalah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama dalam hal ini adalah mengenai jumlah orang yang melihatnya, apakah cukup dengan penglihatan seorang yang adil dua orang yang adil ataukah hasil penglihatan orang banyak? Menurut ulama mazhab Syâfi’î dan mazhab Hanbali, hilâl untuk menentukan awal bulan Ramadhân (demikian pula Syawal), cukup dilihat oleh seorang muslim yang adil, baligh, dan berakal, baik waktu itu langit dalam keadaan cerah maupun mendung (Aziz Dahlan, 1997, IV: 1424). Hal ini sejalan dengan hadis dari ‘Abd Allâh bin ‘Umar yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud dan al-Dârimî. ‘Abd Allâh bin ‘Umar mengatakan:

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Artinya: Orang banyak sama-sama melihat bulan (tanggal satu Ramadhân), lalu aku sampaikan kepada Rasulullah saw., bahwa aku telah melihatnya. Kemudian (keesokan harinya) beliau berpuasa dan menyuruh orang banyak agar berpuasa pula. (Abû Dâwud, [tth.,] II: hadis nomor 2342 dan al-Dârimî, [tth.,] II: 4, dengan lafal Abû Dâwud).

Hadis yang berasal dari ‘Abd Allâh bin ‘Umar ini sejalan pula dengan hadis yang berasal dari ‘Abd Allâh bin ‘Abbâs dan lain-lain mengenai orang Arab Badui yang memberikan kesaksian di hadapan Nabi Muhammad saw., bahwa ia telah melihat bulan tanggal satu Ramadhân, lalu beliau menyuruh Bilâl bin Rabah supaya menyeru orang banyak agar berpuasa (Abû Dâwud, [tth.,] II: hadis nomor 2340 dan 2341, al-Nasâ`î, 1991, IV: hadis nomor 2111-2114, al-Tirmidzî, [tth.,] II: hadis nomor 686 dan 687, Ibn Mâjah, [tth.,] I: hadis nomor 1652, dan al-Dârimî, [tth.,] II: 5)

Sementara itu, ulama mazhab al-Mâlikî mensyaratkan bahwa hilâl itu harus dilihat oleh orang banyak sebab mereka tidak mungkin akan sepakat berdusta. Akan tetapi, apabila hari mendung, maka kemunculan bulan cukup dilihat oleh dua orang saksi yang adil, baligh, dan berakal (Aziz Dahlan, 1997, IV: 1424). Pendapat mereka sejalan dengan riwayat al-Husayn bin Hârits al-Jadalî. Ia berkata: Amir Makkah, al-Hârits bin Hathîb menyatakan bahwa:

عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا

Artinya: Rasulullah saw., mengamanatkan kepada kami agar kami melaksanakan ibadah (puasa) karena telah melihat bulan (tanggal satu Ramadhân). Akan tetapi, jika kami tidak dapat melihatnya, sementara ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikan bulan tersebut, maka kami pun melaksanakan ibadah (puasa) lantaran kesaksian keduanya. (Abû Dâwud, [tth.,] II: hadis nomor 2338).

Adapun yang mensyaratkan bahwa saksi yang melihat kemunculan bulan tanggal satu Ramadhân itu harus sejumlah orang (banyak) adalah ulama mazhab Hanafî. Hanya saja hal ini jika langit berada dalam keadaan cerah, sehingga tidak ada lagi keraguan sewaktu menerima berita bahwa hilâl telah nampak. Akan tetapi, apabila langit mendung, hujan, atau berawan, maka mereka mensyaratkan bahwa hilâl cukup dilihat oleh seorang muslim yang adil, baligh, dan berakal. Hal ini mengingat untuk melihat bulan oleh sejumlah orang pada waktu itu kemungkinannya kecil sekali (Yûsuf al-Qardhâwî, 1999, II: 294). Pendapat mazhab Hanafî ini sesuai dengan riwayat dari Abû ‘Umayr bin Ânas bin Mâlik. Ia mengatakan bahwa beberapa pamannya (maksudnya para sahabat Rasulullah saw.,) dari golongan Anshâr pernah menyatakan:

أُغْمِيَ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى عِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ

Artinya: Kami terhalang (oleh mendung untuk melihat) bulan tanggal satu Syawâl, sehingga keesokan harinya kami pun masih melaksanakan puasa. Pada sore harinya, datanglah serombongan kafilah niaga, lalu mereka menyampaikan kesaksian di hadapan Nabi saw., bahwa mereka telah melihat bulan tanggal satu (Syawâl) kemaren. Setelah itu, beliau menyuruh mereka untuk berbuka dan keluar untuk berhari raya (pada) keesokan harinya. (Ibn Mâjah, [tth.,] I: hadis nomor 1653).

Dari uraian di atas jelaslah bahwa yang wajib bagi umat Islam adalah mencari tanggal satu bulan Ramadhân pada hari kedua puluh sembilan bulan Sya’bân pada waktu menjelang Maghrîb. Berkenaan dengan jumlah orang yang harus menyaksikannya, agaknya Yûsuf al-Qadhâwî (1999, II: 295) cenderung menyerahkan persoalannya kepada pihak pemerintah atau hakim untuk menentukannya, tanpa terikat pada batasan tertentu menurut pendapat yang benar.

2. Dengan cara menyempurnakan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari

Hal ini didasarkan kepda hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain dari Abû Hurayrah, ‘Abd Allâh bin ‘Umar dan lain-lain sebagaimana dikutip pada halaman dua tulisan ini. Namun langkah ini baru dapat ditempuh, apabila umat Islam tidak berhasil melihat kemunculan bulan tanggal satu Ramadhân pada sore hari tanggal 29 Sya’bân, atau kemunculan bulan tanggal satu Syawal pada sore hari tanggal 29 Ramadhan.

Dalam hal ini, disyaratkan bahwa awal bulan Sya’bân benar-benar diketahui waktunya, sehingga penetapan tanggal 30 hari bulannya pun tepat. Karena itu, tidak salah apabila Yûsuf al-Qadhâwî (1999, II: 295) menyarankan agar ulama dan pemerintah senantiasa melakukan penghitungan awal bulan Qamariyah secara cermat sepanjang tahun, karena hitungan bulan yang satu didasarkan pada hitungan bulan yang lain.

Dengan demikian, adalah sangat tidak memadai apabila penetapan masuknya bulan itu hanya dilakukan untuk tiga bulan saja, yakni bulan Ramadhân untuk menentukan waktu permulaan puasa, bulan Syawâl untuk merayakan ‘Idul Fithrî, dan Zulhijjah untuk menentukan wukuf dan ‘Idul Adhâ.

3. Dengan memperkirakan terbitnya hilâl (bulan tanggal satu Ramadhân atau Syawal) ketika langit sedang mendung yakni dengan menggunakan ilmu hisab (ilmu falak)

Mengenai kebolehan penetapan tanggal satu bulan Ramadhân dengan menggunakan ilmu hisab menjadi perdebatan di kalangan ulama. Munculnya perbedaan pendapat itu berawal dari pemahaman terhadap hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain dari ‘Abd Allâh bin ‘Umar berikut:

لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Artinya: Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu telah dapat melihat bulan (tanggal satu Ramadhân) dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu telah melihatnya (bulan tanggal satu Syawâl). Apabila (cuaca di langit menjadikan bulan) terlindung dari (pemandangan) kamu, maka perkirakanlah (umur) bulan itu. (al-Bukhârî, 1981, II: 229, Muslim, [tth.,] III: 122-123, Abû Dâwud, [tth.,] II: hadis nomor 2320-2321, al-Nasâ`î, [tth.,] IV: hadis nomor 2119-2121, Ibn Mâjah, [tth.,] I: hadis nomor 1654, al-Dârimî, [tth.,] II: 3, Ahmad, [tth.,] II: 5 dan 63, serta Mâlik, [tth.,]: hadis nomor 633-634)

Dalam hadis di atas dikatakan “Apabila (cuaca di langit menjadikan bulan) terlindung dari (pemandangan) kamu, maka perkirakanlah (umur) bulan itu”. Dalam hal ini, Imâm al-Nawâwî (1983, VII: 189) menyatakan bahwa Ahmad bin Hanbal dan sejumlah ulama lainnya berpendapat bahwa pernyataan itu berarti “persempitlah bulan itu dan perkirakanlah ia telah berada di bawah awan”. Atas dasar itu, mereka pun mengharuskan berpuasa keesokan harinya dari malam yang mendung itu.

Abû al-’Abbâs bin Surayj (tokoh mazhab Syâfi’iyyah), Mutharif bin ‘Abd Allâh (tokoh tabi’in), dan Ibn Qutaybah (ahli hadis) berpendapat bahwa makna ungkapan itu ialah “Kira-kirakanlah bulan itu menurut perhitungan garis edarnya (manâzil)”. Namun pendapat ini dibantah oleh Ibn ‘Abd al-Bâr sebagai pendapat ulama-ulama tersebut. Malahan Ibn al-‘Arabî menukil riwayat dari Ibn Surayj bahwa maksud sabda Rasulullah saw., “faqdurû lahu” itu ialah “perkirakanlah ia (bulan itu) dengan menghitung manzilah (garis edarnya) ditujukan secara khusus kepada orang yang diberi keistimewaan oleh Allâh dengan penguasaan ilmu falak”. Sementara sabda beliau “fakmil al-‘iddah” (sempurnakanlah bilangan Sya’bân) ditujukan kepada masyarakat umum (al-‘Asqalânî, [tth.,] IV: 617-618). Dengan demikian berarti Ibn Surayj berusaha mengkompromikan kedua riwayat tersebut dan menempatkannya pada posisi yang berbeda. Ahli hisab diharuskan menetapkan masuknya bulan Ramadhân dengan cara memperhitungkan peredaran matahari dan bulan, sementara masyarakat umum cukup dengan menggenapkan hitungan bulan Sya’bân menjadi 30 hari.

Berbeda dengan Ibn Surayj, Imâm Mâlik, Imâm al-Syâfi’î, Imâm Abû Hanifah, dan mayoritas ulama salaf dan khalaf menyatakan bahwa ungkapan “perkirakanlah untuk menetapkan bulan itu” ialah dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’bân menjadi 30 hari (al-Nawâwî, 1983, VII: 189). Jadi, dalam hal ini jumhur ulama memahami sabda Rasulullah saw., “fakmil al-‘iddat al-sya’bân tsalâtsîn” sebagai penafsiran dari sabda beliau “faqdurû lahu” itu, sehingga ia bermakna “maka perkirakanlah olehmu umur bulan (Sya’bân) itu 30 hari”.

Dalam konteks ini, ‘Abd Allâh bin ‘Umar apabila hari telah sampai pada tanggal 29 Sya’bân, ia akan memandang ke langit untuk melihat kemunculan bulan tanggal satu Ramadhân. Jika ia tidak dapat melihatnya, sementara penglihatannya tidak terhalang oleh awan, kabut, ataupun asap, maka keesokan harinya ia pun masih berbuka (belum berpuasa). Akan tetapi, jika penglihatannya pada hari itu terhalang oleh awan, kabut, ataupun asap, maka keesokan harinya ia pun mulai melaksanakan puasa Ramadhân. Nafi’ menyatakan bahwa ‘Abd Allâh bin ‘Umar berhari raya bersama orang banyak dan tidak menggunakan hisab (Abû Dâwud, [tth.,] II: hadis nomor 2320).

Praktek ‘Abd Allâh bin ‘Umar itu didukung pula oleh pernyataan al-Mazîrî bahwa yang dimaksud dengan “faqdurû lahu” dalam sabda Nabi saw., itu, menurut jumhur fuqahâ adalah menyempurnakan bilangan bulan Sya’bân menjadi 30 hari. Al-Maziri menambahkan, hanya saja mereka tidak membolehkan bahwa yang dituju oleh hadis itu adalah penghitungan berdasarkan peredaran perbintangan. Menurutnya, seandainya umat Islam dibebani untuk melakukan hisab, niscaya mereka akan mengalami kesulitan sebab hisab itu hanya diketahui oleh segelintir orang saja, sedangkan agama menghendaki cara yang dikenal oleh masyarakat umum, yakni melihat kemunculan bulan tanggal satu Ramadhân dengan mata kepala. Cara inilah yang praktis dan dapat dilakukan oleh (hampir) semua orang (al-Nawâwî, 1983, VII: 189).

Sejalan dengan pendapat ini, Ibn al-Sabbâgh dan al-Bâjî juga menolak pendapat yang membolehkan penggunaan hisab dan ilmu perbintangan (astrologi) sebagai dasar perhitungan untuk menetapkan puasa dan ‘Idul Fithrî. Bahkan, Ibn Bazîzah mencap pendapat tersebut sebagai pendapat yang batil. Menurutnya, syari’at melarang umat Islam untuk menekuni ilmu nujum (astrologi), karena ilmu itu banyak didasarkan pada dugaan dan perkiraan yang tidak pasti. Atas dasar itu, al-Shan’anî (1991, II: 309) menyatakan bahwa jawaban yang tegas terhadap mereka yang membolehkan pemakaian hisab ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dari ‘Abd Allâh bin ‘Umar bahwa Nabi saw., bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

Artinya: Kami umat yang ummi, tidak pandai menulis dan tidak pandai menghitung (melakukan hisab). Bulan itu (bilangan harinya) begini dan begini, yakni adakalanya berumur 29 hari dan adakalanya berumur 30 hari.

Menurut hemat penulis, hadis yang dijadikan hujah oleh al-Shan’ani tidak tepat, sebab hadis itu secara khusus menyampaikan mengenai kondisi sosial umat Islam pada zaman Nabi Muhammad saw., Hadis itu tidak sedikit pun menafikan tulis baca dan hisab. Artinya, kebutahurufan itu bukanlah suatu keharusan ataupun tuntutan agama, sebab Nabi saw., sendiri telah berusaha untuk membebaskan para sahabatnya dai buta huruf dengan jalan mengajarkan tulis-menulis kepada mereka, sebagaimana terlihat dari kebijakan beliau yang membebaskan sejumlah tawanan perang Badar dengan syarat mereka mengajarkan tulis-menulis kepada anak-anak orang Islam.

Dengan demikian, hadis tersebut tidak menghambat dinamika umat Islam untuk dapat menulis, membaca, dan berhitung (hisab). Oleh sebab itu, sebagaimana dinyatakan oleh Yûsuf al-Qadhâwî (1999, II: 298) agaknya ilmu falak yang ditolak oleh ulama fiqih ialah apa yang disebut tanjîm atau ilmu nujum (astrologi), sebab ilmu ini oleh pelakunya didakwakan dapat mengetahui berbagai perkara gaib yang akan terjadi melalui ramalan perbintangan. Kalau ilmu ini, memang jelas-jelas batil dan dilarang oleh Rasulullah saw., sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud dan Ibn Mâjah dari ‘Abd Allâh bin ‘Abbâs:

مَنْ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنْ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنْ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ

Artinya: Barangsiapa yang mengambil sepotong dari ilmu nujum (ramalan perbintangan) berarti ia telah mengambil sebagian dari ilmu sihir. (Abû Dâwud, [tth.,] IV: hadis nomor 3905, Ibn Mâjah, [tth.,] II: 3726, dan lain-lain)

Di sisi lain, astrologi tidaklah sama dengan ilmu falak modern yang didasarkan pada kesaksian dengan menggunakan instrumen-instrumen dan perhitungan matematis yang akurat. Sayangnya, sebagian ulama menganggap bahwa hisab falaki adalah perhitungan para pembuat kalender yang seringkali berbeda antara satu dengan lainnya dalam penghitungan jumlah hari bulan Qamariyah.

Adapun perkataan Imâm al-Nawâwî bahwa ilmu hisab hanya diketahui oleh segelintir orang saja, maka hal ini benar apabila dinisbatkan kepada kondisi pada masa hidupnya. Namun keliru besar, jika dikaitkan dengan kondisi pada zaman sekarang ketika ilmu falak telah dikenal luas dan didukung oleh peralatan dan teknologi yang canggih, sehingga kemungkinan salahnya kecil sekali, yakni hanya satu perseratus ribu (1/100.000).

Dengan demikian, sebagaimana diungkap oleh Syuhudi Ismail (1994: 53-55) hadis itu lebih tepat jika dipahami secara kontekstual, sebab apa yang dikatakan Nabi saw., dalam hadis itu bersifat temporal. Umat Islam pada masa itu memang belum mampu melakukan hisab awal bulan Qamariyah dan tidak mungkin untuk memanfaatkan alat-alat yang berteknologi canggih, karena memang alat-alat tersebut belum dikenal. Kalau umat Islam telah memiliki pengetahuan dan teknologi yang tinggi, maka penetapan penyaksian tanggal satu Qamariyah “boleh”, bahkan “harus” menempuh kegiatan hisab yang teliti.

Sejalan dengan itu, Ahmad Muhammad Syâkir (1993: 19) menyatakan bahwa lantaran umat Islam sekarang telah terhindar dari kebodohannya, maka ia harus kembali kepada perhitungan ilmu hisab untuk menentukan bulan sabit tanggal satu. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa permulaan malam bulan Ramadhân atau lainnya adalah malam yang belum kelihatan bulan sabit setelah matahari terbenam sekalipun dengan jarak yang sedikit.

Atas dasar itu, tidak berlebihan Yûsuf al-Qadhâwî (1999, II: 303) yang memfatwakan bahwa menggunakan hisab yang akurat pada hari ini merupakan wasilah untuk menetapkan bulan yang wajib diterima dengan dasar qiyâs awlâ, mengingat ru`yah sebagai wasilah alami yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad saw., masih mengandung keraguan dan kemungkinan-kemungkinan keliru. Di sisi lain, hadis tersebut tidak menolak penggunaan wasilah yang lebih “tinggi” dan lebih sempurna. Hal ini akan dapat mengeluarkan umat Islam dari perselisihan dan pertentangan yang ketat dalam menentuakan awal puasa, berbuka (‘Idul Fithrî) dan ber-’Idul Adhâ sehingga tampaklah kesatuan syiar dan ibadah yang mereka lakukan.

Sesuai dengan fatwanya, Yusuf al-Qardhawi menyerukan kepada umat Islam untuk menggunakan hisab falaki yang qath’î (akurat), setidaknya pada waktu posisi bulan negatif (di bawah ufuk), bukan dalam posisi positif (ketika bulan telah berada di atas ufuk) untuk mempersempit perbedaan yang biasa terjadi di tengah umat Islam. Namun demikian, ia tidak menafikan penggunaan ru`yah sama sekali. Hanya saja, apabila menurut hisab, hilâl tidak mungkin dapat di-ru`yah karena ia belum wujud di negeri muslim mana pun, maka kesaksian orang yang menyaksikannya harus ditolak, bagaimanapun keadaannya, karena kenyataan yang ditetapkan oleh ilmu eksakta yang akurat mendustakannya. Dalam kondisi ini, orang tidak dituntut lagi untuk me-ru`yah hilâl, dan pemerintah melalui lembaga yang berkompeten mestinya tidak boleh lagi membuka peluang bagi seseorang untuk menyampaikan kesaksian dengan jalan ru`yah (1999, II: 312).

Pendapat pakar hukun Islam modern dari Mesir ini sejalan pula dengan pandangan Taqy al-Dîn al-Subkî yang menyatakan bahwa apabila ilmu hisab dengan ilmu eksaktanya telah memutuskan bahwa bulan sabit tidak bisa dilihat, maka kesaksian beberapa orang saksi yang mengaku telah melihat bulan itu pun harus ditolak. Bahkan bisa dinyatakan bohong, sebab ilmu hisab merupakan ilmu pasti, sementara kesaksian dan berita masih bersifat perkiraan belaka. Keduanya berbeda, sehingga tidak mungkin bila perkiraan itulah yang digunakan sebagai pedoman (Syâkir, 1993: 12).

Dalam hal ini, cukup menarik fenomena yang diungkapkan oleh Sulaimân Rasyîd (1992: 214-215) berkenaan dengan masih adanya keberatan sementara kalangan umat Islam untuk menggunakan ilmu falak dalam menetapkan mulai dan habisnya puasa Ramadhân, sementara mereka tidak syak sedikit pun untuk menggunakan jam yang telah ditetapkan dalam jadwal waktu shalat. Padahal keadaan jadwal waktu shalat dan puasa itu sama caranya dalam perhitungan ilmu hisab, yakni untuk mencari persesuaian dengan waktu yang ditentukan oleh syara’. Kedua perhitungan itu diakui keabsahannya oleh ahli falak setelah dilakukan percobaan puluhan tahun.

Berkenaan dengan masih cukup peliknya persoalan penentuan permulaan bulan itu untuk seluruh umat Islam disebabkan di sebagian negeri untuk melihat bulan itu memang tidak mudah, bahkan banyak pula negeri yang tidak dapat melihat bulan pertama itu, maka Ahmad Muhammad Syâkir (1993: 29-43) menegaskan perlunya dipertimbangkan suatu tempat sebagai pedomannya, yakni di mana bulan tidak tampak setelah matahari terbenam. Dalam hal ini, tempat tersebut harus menjadikan Makkah sebagai sebagai pedoman untuk menentukan terlihat atau tidaknya kemunculan bulan sabit (QS. 2: 189), sebab Makkah merupakan sumber penyebaran agama Islam, tempat turunnya wahyu, tempat pertemuan umat Islam setiap tahun di bulan haji, dan di sanalah Ka’bah yang merupakan kiblat dan lambing persatuan umat Islam berada. Atas alasan itu, ia menyarankan agar umat Islam seluruh dunia untuk mengikuti mathla’ (tempat terbit bulan) di sana. Ini berarti, hari berpuasa adalah hari ketika penduduk Makkah dan sekitarnya berpuasa, hari raya ‘Idul Fithrî adalah ketika mereka berbuka, dan hari ‘Idul Adhâ adalah ketika hari pertama mereka menyembelih hewan kuban.

Gagasan ahli hadis dari Mesir ini agaknya bersesuaian dengan sabda Nabi Muhammad saw., yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud, al-Tirmidzî, dan Ibn Mâjah dari Abû Hurayrah berikut ini:

وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ وَكُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ وَكُلُّ مِنًى مَنْحَرٌ وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحَرٌ وَكُلُّ جَمْعٍ مَوْقِفٌ

Artinya: Hari raya (‘Idul Fithrî)-mu adalah pada hari kamu berbuka dan ‘Idul Adhâ-mu adalah pada hari (pertama) kamu menyembelih hewan kuban. Seluruh tanah Arafah adalah tempat wukuf, seluruh tanah Minâ adalah tempat penyembelihan (hewan kurban dam haji), seluruh tanah Makkah adalah tempat penyembelihan (hewan kurban), dan seluruh tanah Muzdalifah dapat digunakan untuk bermalam. (Abû Dâwud, [tth.,] II: hadis nomor 2324, al-Tirmidzî, [tth.,] II: hadis nomor 693, dan Ibn Mâjah, [tth.,] I: hadis nomor 1660).

Menurut Imâm al-Khathâbî sebagai dikutip oleh Abû al-Thayyîb Abâdî ([tth.,] VI: 442-443) hadis di atas menunjukkan bahwa kekeliruan manusia dalam berijtihad dalam menentukan hari ‘Idul Fithrî itu dimaafkan. Artinya, apabila suatu kaum berijtihad menetapkan hari raya tersebut, lantas mereka kemudian tidak melihat kemunculan hilâl kecuali setelah malam ketiga puluh Ramadhân, sehingga mereka pun terlambat untuk berbuka (lebaran) sebab menggenapkan bilangan puasanya menjadi 30 hari. Kemudian setelah itu terbukti bahwa umur Ramadhân hanya 29 hari, maka puasa dan lebaran yang mereka lakukan berlaku sebagaimana layaknya, dan mereka tidak menanggung dosa atau resiko apa pun juga. Demikian pula mengenai haji, apabila mereka keliru dalam menetapkan hari Arafah, maka mereka tidak perlu mengulangi hajinya dan kurban mereka dianggap sudah cukup. Semua ini merupakan keringanan dan kasih sayang Allâh kepada hamba-hamba-Nya.

C. Kesimpulan

Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa dalam hal penetapan awal bulan (khususnya Ramadhân dan Syawâl) terdapat kelonggaran dan keluwesan, asal saja tetap memperhatikan dalil-dalil syara’ dan hukum-hukumnya. Dalam hal ini, ada tiga cara yang dapat ditempuh untuk menetukannya, yaitu: (a) dengan melihat bulan secara langsung dengan mata kepala (ru`yak al-hilâl bi al-‘ayn) oleh seseorang atau sejumlah orang muslim yang baligh, berakal, dan adil, (b) dengan menyempurnakan bilangan Sya’bân menjadi 30 hari apabila cuaca di langit menjadikan bulan terlindung dari pemandangan, dan (c) dengan memperkirakan terbitnya hilâl (bulan tanggal satu Ramadhân) ketika langit sedang mendung yakni dengan menggunakan ilmu hisab (ilmu falak)

Adanya kekhilafan dalam masalah penetapan awal bulan itu dapat dimaafkan dan ibadah yang dilakukan berlaku sebagaimana layaknya. Semua ini merupakan keringanan dan kasih sayang Allâh kepada hamba-hamba-Nya. Namun demikian, dirasa perlu adanya usaha untuk mempersatukan umat Islam mengenai pelaksanaan puasa dan hari raya mereka, serta semua syi’ar agama lainnya. Adapun caranya adalah melalui pengunaan hisab falaki yang qath’î (akurat), setidaknya pada waktu posisi bulan negatif (di bawah ufuk), bukan dalam posisi positif (ketika bulan telah berada di atas ufuk). Dengan demikian, perbedaan yang biasa terjadi di tengah umat Islam dapat diminimalisir, kalau tidak akan hilang sama sekali. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb …

Daftar Kepustakaan

Abâdî, Abû al-Thayyîb Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhîm. ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud ma’a Syarh al-Hâfizh Ibn Qayyîm al-Jawziyyah, (Ed.) ‘Abd al-Rahmân Muhammad ‘Utsmân, Beirût: Dâr al-Fikr, [tth.,] Juz VI

Anas, Mâlik bin. Al-Muwaththa’, naskah di-ta’lîq oleh Sa’îd al-Lahm, Beirût: Dâr al-Fikr, tth.

‘Asqalâni al, Ahmad bin ‘Alî bin Hajar. Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, (Ed.) ‘Abd al-‘Azîz bin ‘Abd Allâh bin Bâz, Beirût: Dâr al-Fikr, [tth.,] Juz IV

Azadî al, Abû Dâwud Sulayman bin al-Asy’ats al-Sijistânî. Sunan Abî Dâwud, naskah di-ta’lîq oleh Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd, Indonesia: Maktabat Dahlân, [tth.,] Juz II

Dahlan, Abdul Aziz (et. al). Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar baru Van Houve, 1997, cet. ke- 1, Jilid IV

Dârimî al, ‘Abd Allâh bin ‘Abd al-Rahmân bin al-Fadhl bin Bahrân bin ‘Abd al-Shamad al-Taymî al-Samarqandî, Sunan al-Dârimî, Beirût: Dâr al-Fikr, [tth.,] Juz II

Hanbal, Ahmad bin. Musnâd al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Beirût: Dâr al-Fikr, [tth.,] Juz I-V

Ibn Mâjah, Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Yazîd al-Qazwînî. Sunan Ibn Mâjah, (Ed.) Muhammad Fuwâd ‘Abd al-Bâqî, Mesir: ‘Isâ al-Bâbî al-Halabî wa Syurakahu, [tth.,] Juz I

Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis NAbî yang Tekstua dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, cet. ke-1

Ja’fî al, Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm ibn al-Mughîrat bin Bardizbat al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Beirût: Dâr al-Fikr, 1981, Juz II

Nasâ`î al, Abû ‘Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu’ayb, Sunan al-Nasâ`î bi Syarh al-Hâfizh Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, diberi catatan pinggir (hâsyiyah) oleh al-Sindî, Beirût: Dâr al-Ma’rifah, 1991, Juz IV

Naysabûrî al, Abû al-Husayn Muslim bin al-Hajjâj ibn Muslim al-Qusyayrî. Al-Jâmi’ Shahîh, Beirût: Dâr al-Fikr, [tth.,] Juz III

Qardhâwî al, Yûsuf. Hâdy al-Islâm Fatawî al-Mu’âshirah, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul “Fatwa-fatwa Kontemporer”, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet.ke-2, Jilid II

_______, Kayfa Nata’âmalu ma’a al-Sunnat al-Nabawiyyah, diterjemahkan oleh Bahrun Abû Bakar dengan judul “Studi Kritis as-Sunnah”, Jakarta: Tri Genda Karya, 1996, cet. ke-1

Qurthubî al, Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Ansharî. Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1993

Rasyîd, Sulaimân. Fiqh Islâm, Bandung: Sinar Baru, 1992, cet. ke-25

Shan’anî al, Muhammad bin Ismâ’îl al-Amîr al-Yamanî, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillat al-Ahkâm, Beirût: Dâr al-Fikr, 1991, Juz II

Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur`ân: Tafsir Mawdhû’î atas Pelbagai Prsoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996, cet. ke-3

Syâkir, Ahmad Muhammad. Awâ`il al-Syuhûr al-‘Arabiyyah, diterjemahkan oleh Mahrous Ali dengan judul “Menentukan Hari Raya dan Awal Puasa”, Surabaya: Pustaka Progressif, 1993, cet. ke-1

Tirmidzî al, Abû ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Sawrat. Sunan al-Tirmidzî atau Al-Jâmi’ al-Shahîh, (ed.) ‘Abd al-Wahâb ‘Abd al-Lathîf, Semarang: Toha Putra, [tth.,] Juz II

z¥@€$z

Tidak ada komentar:

Posting Komentar