Senin, 26 Januari 2009

Problematika Takziyah dan Karangan Bunga

Rumusan Hasil Muzakarah

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Se-Sumatera Barat

di Kabupaten Tanah Datar

Jumat-Minggu/18-20 Zulhijjah 1428 H/28-30 Desember 2007 M

Nara Sumber Utama: Dr. H. Muchlis Bahar, Lc., M.Ag.
Nara Sumber Pendamping: Yusrizal Efendi, S.Ag., M.Ag., dkk
Moderator: Prof. Dr. H. Edi Safri
A. Pendahuluan

Manusia tidak akan mencapai kesempurnaan [waffa] dalam proses evolusinya sebelum ia wafat meninggalkan dunia ini menuju alam berikutnya (alam barzakh). Pada saat musibah itu datang menimpa, lazim dilakukan apa yang dikenal sebagai takziyah yaitu menyabarkan orang yang ditinggal mati keluarganya dengan “sesuatu” (cerita atau perkataan atau ucapan, dan sebagainya) yang dapat ‘menghibur’ dan ‘meringankan atau mengurangi’ kesedihannya. Menurut para fukaha, hukum takziyah adalah sunnah bagi dan kepada semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun orang dewasa. Rasûlullâh SAW bersabda: Tidak ada seorang mukmin pun yang bertakziyah kepada saudaranya yang mendapat musibah, melainkan Allâh SWT akan mengenakan padanya pakaian kemuliaan pada hari kiamat”. (HR. Ibn Mâjah dari Muhammad ibn ‘Amrû ibn Hâzm).

Pada zaman modern ini, ungkapan takziyah juga diwujudkan dalam bentuk pengiriman karangan bunga yaitu untaian pelbagai macam bunga yang disusun dan diatur dalam bentuk sedemikian rupa sehingga menjadi bentuk yang elok dan menarik sebagai tanda ucapan selamat atau tana turut berduka cita atas wafatnya seseorang. Dalam konteks ini, banyaknya karangan bunga merupakan “peyejuk hati” sekaligus “kebanggaan” bagi keluaga duka yang ditimpa musibah. Ia juga merupakan ekspresi betapa besarnya perhatian masyarakat atas wafatnya seseorang, yang dikesankan bukan orang sembarangan, melainkan terkenal dan banyak jasanya di tengah masyarakat. Ditinjau dari segi ekonomi, banyaknya karangan bunga yang terjual tentu mndatangkan banyak keuntungan bagi pedagang dan produsennya, apalagi satu karangan bunga sederhana setidaknya berharga sekitar Rp. 300.000. Namun di sisi lain, keluarga duka juga mendapat tambahan pekerjaan membuang karangan bunga yang mulai layu dan menjadi sampah. Bagaimanakah mestinya kita umat Islam menyikapi problematika ini? Apakah hal ini termasuk perbuatan yang dilarang Allâh dan rasul-Nya ataukah diperbolehkan?

B. Presentasi dan Pembahasan

Menurut para fukaha, takziyah boleh dilakukan sebelum maupun sesudah penguburan. Namun demikian, sesudah penguburan lebih baik karena sebelumnya keluarga masih sibuk dengan urusan penyelenggaraan jenazah dan kesepian setelah ditinggal si mayat lebih dirasakannya. Dasar hukum tenggang waktu bertakziyah itu adalah izin Rasûlullâh SAW untuk berkabung (ihdâd) terhadap mayat selama tiga hari, kecuali terhadap suaminya, maka ia diwajibkan berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Rasûlullâh SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allâh dan hari akhir untuk berkabung terhadap orangyang meninggal lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suaminya, yakni empat bulan sepuluh hari.” (HR. Al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain dari Ummu Habîbah)

Dalam konteks ini, disunnahkan kepada orang yang bertakziyah untuk membuatkan makanan bagi keluarga yang mendapat musibah guna membantu meringankan beban mereka. Rasûlullâh bersabda: “Buatlah makanan bagi keluarga Ja’far (ibn Abî Thâlib) karena mereka sedang ditimpa perkara (musibah) yang membuat mereka sibuk.” (HR. Abû Dâwud, al-Turmudzî, dan Ibn Mâjah dari ‘Abd Allâh ibn Ja’far). Di sisi lain, orang yang bertakziyah hendaklah menghibur dan menyabarkan orang yang terkena musibah bahwa ia akan mendapat pahala atas kesabarannya, serta mengajarnya agar ridha, kemudian mendoakan orang yang meninggal. Adapun ungkapan yang disampaikan dalam bertakziyah, tidak ditentukan dan berbeda-beda sesuai dengan agama orang yang meninggal dan keluarganya. Namun demikian, membatasi diri pada ungkapan-ungkapan takziyah yang dituntunkan Nabi SAW adalah tentunya lebih baik Rasûlullâh SAW bersabda: “Sesungguhnya kepunyaan Allahlah apa yang diambilnya, kepunyaannyalah apa yang diberikannya, dan segala sesuatu mempunyai masanya yang ditentukan di sisi-Nya, maka hendaklah engkau bersabar dan berserah diri kepadanya....”. (HR. Al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain dari Usâmah ibn Zayd).

Di samping itu, hendaklah takziyah dilakukan seperlunya. Artinya, setelah bertakziyah hendaklah orang yang bertakziyah dan keluarga orang yang meninggal kembali melakukan keperluannya masing-masing. Pada sisi lain, orang yang mendapat musibah disunnahkan bersikap sebagai berikut: (1). Ridha atas meninggalnya keluarganya dengan mengucapkan istirjâ` (inna lillâhi wa inna ilayhi râji’ûn), dan (2). Bersabar. Di antara perbuatan yang bertentangan dengan sikap sabar adalah meratap, menjerit-jerit, memukul-mukul dada, merobek-robek baju, mengacak-acak rambut, dan sikap yang berkonotasi nihâyah lainnya.

Walaupun secara eksplisit, kata-kata yang berarti karangan bunga tidak ditemukan dalam al-Qur`an maupun Sunnah, tetapi persoalan tersebut dapt disikapi sebagai berikut:

  1. Orang yang membelanjakan hartanya untuk membeli karangan bunga “yang cukup mahal” itu sebagai pernyataan ikut berduka cita atas wafatnya seseorang, kemudian karangan bunga itu “tidak atau kurang berguna” bagi keluarga duka, bahkan menjadi tumpukan sampah, maka perbuatan itu merupakan tindakan “mubazir” Mereka telah membelanjakan harta bukan pada tempatnya, seperti orang yang menebarkan benih bukan pada tempat persemaiannya (tabdzîr). Si pengirim dan pembuat ingin karangan bunganya dilihat orang (riyâ`) dan melahirkan kebanggan karena dipuji dan dikenal orang lain (sum’ah. Peaku tindakan ini adalah temannya syetan, syetan itu kafir (engkar) kepada Tuhan. Mereka juga tidak pandai bersyukur, karena tidak menggunakan hartanya sesuai dengan tuntunan Allâh dan Rasul-Nya. (QS. Al-Isrâ`/17 ayat 26-27 dan QS. Al-Zukhrûf/43 ayat 36).
  2. Menurut Sunnah Nabi, yang mesti diberikan kepada keluarga duka bukan karangan bunga, melainkan makanan, baik berupa makanan siap saji, bahan makanan, ataupun berupa uang tunai untuk keperluan dimaksud.
  3. Perilaku tersebut juga menunjukkan sikap yang bernuansa kesombongan (mukhtâl), bermegah-megah (tafâkhur), melampaui batas (i’tidâ`). Hal itu hanya mungkin diltunjukkan kalangan tertentu [biasanya memiliki status sosial yang tinggi dan dihormati di tengah masyarakat] serta diperuntukkan bagi seperti mereka pula. (QS. Al-Nisâ`/4 ayat 36, QS. Liuqmân/31 ayat 18, QS. Al-Hadîd/57 ayat 23, dan QS. Al-A’raf/7 ayat 55).
  4. Kebiasaan, tradisi, dan budaya tersebut tidak berasal dan tumbuh dari umat Islam dan belum pernah ada di lingkungan mereka sebelumnya. Perbuatan ini berarti tasyabuh (menyerupai) kaum non muslim dan hal ini bukan merupakan identitas umat Islam. Dalam konteks ini, Allâh menyuruh umat Islam untuk hanya mengikuti jalan-Nya. (QS. Al-An’âm/6 ayat 153, QS. Al-Baqarah/2 ayat 120, dan QS. Al-Nisâ`/4 ayat 115). Rasûlullâh SAW juga bersabda: “Barangsiapa menyerupai (meniru-niru) suatu kaum, amaka ia merupakan bagian dari mereka”. (HR. Abû Dâwud dari ‘Abd Allâh ibn ‘Umar).

C. Diskusi dan Rekomendasi

1. Sisi Positif Karangan Bunga

  • Rasûlullâh SAW responsif jika terima berita duka, tidak hadir beliau kirim utusan untuk menyampaikan salam dan pesannya. Bukankah karangan bunga manifestasi dari pernyataan tturut berduka cita?
  • Karangan bunga merupakan wujud apresiasi terhadap keluarga duka. Bukankah tingkat kepuasan tiap orang berbeda? Bagi kalangan tertentu (high level), mereka tidak begitu butuh suply makanan saat duka dan adanya karangan bunga dapat menjadi “obat dan hiburan tersendiri” bagi jiwa mereka.
  • Bunga yang dipetik bukanlah hal mubazir, yang penting karangan bunga jangan sampai rusak akidah, melalaikan kewajiban, dan menambah kesedihan

2. Sisi Negatif Karangan Bunga

  • Budaya ini melahirkan rasa malu yang tidak tepat dan bukan bagian dari keimanan, “malu tidak kirim karangan bunga”. Mestinya dikembangkan budaya malu melakukan amalan yang tidak cocok dengan tuntunan syariat.
  • Walaupun bunga wujud cinta dan sayang, tetapi modal karangan bunga tetap besar dan bernilai mubazi
  • Karangan bunga lebih bernuansa prestise dan prestasi (sum’ah dan riyâ`), baik bagi pemberi, tak jarang bagi penerimanya. Padahal riyâ`, termasuk syirik kecil yang membahayakan akidah.
  • Dalam karangan bunga ada nuansa promosi bagi si pengirimnya. Motifnya masih keuntungan duniawi, ekonomi bahkan politis. Padahal, nasehat dan pengajaran yang terkandung dalam bertakziyah, tidak bisa diwakili oleh karangan bunga.
  • Karangan bunga merupakan budaya elite class. Prinsipnya “benih saja ditabur bukan pada persemaiannya adalah mubazir, apalagi sudah jadi karangan bunga”.
  • Pemberian karangan bunga termasuk rangkaian takziyah yang merupakan urusan ibadah. Kaedahnya adalah tawqîf dan ittibâ’. Oleh sebab itu, takziyah mesti dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan tuntunan syariat. Karangan bunga juga termasuk tindakan bid’ah, tidak sesuai dengan perintah agama, dan hukumnya “ditolak”.
  • Datang bertakziyah disyariatkan (masyrû’) untuk berbagi duka cita, ‘membahagiakan’, dan menyabarkan keluarga duka (idkhal al-surûr wa al-shabr), mengajarkan istirjâ` dan menyadari makna inna lillâhi wa inna ilayhi râji’ûn, dan mendoakan orang yang meninggal.

3. Simpulan dan Solusi

  • Walaupun pemberian karangan bunga dimaksudkan untuk tujuan yang baik dan disyariatkan (masyrû’) yaitu menghibur keluarga duka agar bersabar dalam menghadapi musibah, tetapi tatacara dan sarananya tidak disyariatkan (ghayru masyrû’) karena yang diberikan tidak termasuk kebutuhan pangan.
  • Mafsadat (dampak negatif) karangan bunga sudah jelas, yaitu merupakan prilaku mubazir, bernuansa sum’ah dan riyâ`, tafâkhur, dan sebagainya. Adapun unsur mashlahat (sisi positifnya) bersifat mubham (diragukan). Atas dasar itu, hukumnya minimal karahat tanzih sehingga pemberian karangan bunga mesti ditinggalkan atau dihindari.
  • Solusi yang dapat dilaksanakan sebagai pengganti karangan bunga dalam takziyah sesuai dengan tuntunan agama adalah memberikan sumbangan untuk keperluan pangan keluarga duka, baik berupa makanan siap saji, bahan makanan, ataupun berupa uang tunai untuk keperluan dimaksud.

** Allâh a’lam bi al-shawâb**

Selasa, 06 Januari 2009

Ayah, Ibu; Maafkan Anakmu!

Sadarilah!...Bukankah perjalanan hidup kita tak obahnya seperti seorang yang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan yang demikian melelahkan, ia berteduh sejenak di bawah sebuah pohon kayu yang rindang. Sekedar untuk melepas penat dan dahaga, ia pun akan melanjutkan perjalanannya kembali ke arah yang dituju. Artinya....Dunia yang kita tinggali saat ini, hanyalah tempat persinggahan sementara. Pada suatu masa nanti, entah kapan [bisa saja hari/malam ini, bulan ini, atau tahun ini] kita bakal pulang ke kampung akhirat. Di sanalah kita akan menerima balasan atas segala amalan yang kita perbuat di medan perantauan dunia ini, Ingatlah, siapa yang berbuat kebaikan, maka ia akan memperoleh ganjaran pahala, dan siapa yang berbuat kejahatan akan menderita dalam siksa dan kehinaan.

Mengapa kita sebagai seorang yang telah memproklamirkan diri sebagai muslim dan mukmin, tidak berusaha maksimal untuk mengenal bagaimana Islam dan iman itu sendiri. Agama hanya kita dijadikan sebagai topeng untuk mengelabui orang banyak. Islam hanya diamalkan kalau mendatangkan keuntungan material duniawi. Kita akan berpaling dari agama ini, dan bahkan mungkin menginjak-injak ajaran-Nya saat bertentangan dengan kemauan nafsu rendahan kita. Kita baca al-Qur’an (itu pun jarang dan tidak teratur), maksud dan tujuannya pun tidak pernah kita coba untuk pahami, apalagi untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari....

Tidakkah kita sadar, bahwa kita adalah generasi tumpuan dan harapan kedua orang tua, agama, dan negeri tercinta ini. Kenapa kita cenderung melupakan dan menganggap remeh segala pengorbanan dan cucuran keringat orang tua kita? Padahal... Mereka sangat berharap agar masa depan kita kelak jauh lebih baik dari mereka hari ini. Mereka jelas tidak menginginkan kondisi kita sama dan tidak berubah dari keadaan mereka saat ini. Bagi mereka..... Cukup sudah.. mereka saja yang menangung penderitaan dan susahnya kehidupan ini. Asal kita ini, anaknya menjadi ”orang” yang sukses dan berguna, mereka rela hidup menderita, seadanya, dan pas-pasan.

Ingatlah..... Sembilan bulan sepuluh hari lamanya, kita berada dalam rahim ibunda. Di masa itu, ia alami kepayahan dan penderitaan tiada tara. Ia lahirkan kita ke atas dunia ini dengan mempertaruhkan nyawanya. Bahkan, jika diharuskan memilih, mereka rela melepas nyawa, asal kita [anak yang menjadi buah hati dan tumpuan kasihnya] terlahir hidup dan selamat. Ingatlah.... Sepanjang siang dan malam hari, dengan penuh kasih sayang, tanpa berharap pamrih apa-apa, kita dijaga dan dirawatnya dengan sepenuh jiwa. Bahkan di kala kita tertidur, tak seekor nyamuk pun ia perkenankan untuk menghisap darah kita, mereka rela menahan kantuk, asal kita anaknya dapat tidur dengan nyenyak, penuh rasa aman. Bila kita menangis, dia tinggalkan segenap pekerjaan dan kesibukannya. Beliau tidak tega melihat kita menderita dan tersiksa.

Belum lagi, demi pendidikan [sekolah] kita, mereka rela berlumuran lumpur di sawah, bekerja di bawah panasnya terik matahari, pergi pagi, dan baru kembali ke rumah senja hari. Atau pergi ke sekolah, kantor, pasar atau pabrik dari pagi hingga siang, bahkan sore dan terkadang baru kembali ke rumah malam hari dalam keadaan capek dan letih. Mereka rela membanting tulang, mencari nafkah demi kehidupan masa depan kita, anaknya. Semua itu mereka jalani dengan tekun, penuh kebanggaan, tanpa rasa putus asa. Terbayang di pelupuk mata mereka, keberhasilan kita di masa depan. Itulah damba dan harapan mereka. Bahkan, di kala kita tidur pun, mereka masih bermunajat dan haturkan doa:

Ya Allah!

Berilah anakku ilmu yang bermanfaat

Bermanfaat bagi dirinya, bagi lingkungannya, dan bagi hari depannya kelak

Berikanlah kepada anakku tersayang,

yang kini sedang dihantam gelombang dan badai perjuangan

Jalan yang lempang dan mudah untuk mengapai cita dan harapannya

Tuhanku!

Bentuklah putraku menjadi manusia yang berani

Berani untuk menyadari dan mengakui kelemahan dirinya

Jadikanlah ia manusia yang tegar dalam kekalahan dan kesulitan hidup ini

Tetapi berlaku jujur, rendah hati, dan berakhlak kharimah

dalam kemenangan dan kelapangan.

Ya Allah!

Bentuklah puteraku menjadi seorang Mujahid

yang cita-citanya tidak pernah padam

dan bahkan berusaha maksimal mewujudkannya dalam karya nyata.

Ya Allah!

Buatlah puteraku insyaf bahwa mengenal dirinya sendiri

adalah landasan pengetahuan

Ya Allah!

Aku mohon agar puteraku berada di jalan yang lunak dan mudah.

Tumbuh dan Engkau pimpin dia dalam tantangan dan ujian

Agar ia dapat berdiri kokoh di tengah badai

Puteraku yang sangup meraih masa depannya

Namun tidak lupa akan masa lampaunya

Berilah puteraku kerendahan hati

Bimbing dan tuntunlah ia agar selalu mengingatmu.

Ya Allah!

Dengan begitu, aku orang tuanya dapat berbisik:

“Bahwa hidup dan pengorbananku selama ini

memang tidak sia-sia”.

*)*

Coba bayangkan..... Kenapa setelah kita besar dalam asuhan dan didikannya. Kita cenderung mengabaikannya. Teramat sering kita sakiti hatinya. Kita lontarkan kata-kata kotor dan tidak pantas kepada manusia mulia itu. Pada saat kita sukses dan jauh berada darinya. Dilayangkannya kabar-berita. Nak..... Ayah dan Ibu sudah tua, nak. Kami rindu padamu, nak. Yang kami butuhkan bukanlah uang dan hartamu, tidak pula pangkat dan jabatanmu, nak. Betapa pun tingginya kedudukanmu .... yang kami rindukan adalah kehadiranmu dan kebersamaan denganmu, nak. Pulanglah, anakku, Pulanglah, anakku, tengoklah kami orangtuamu. Nak, kami benar-benar rindu padamu.

Apa jawaban kita? Maaf, ayah... Maaf ibu, aku tidak mungkin pulang sekarang. Aku sedang sibuk. Tugas-tugas dan pekerjaanku sedang menumpuk. Kita lupakan dan abaikan kerinduan mereka. Kita ajukan berbagai dalih dan alasan untuk tidak secepatnya menyahuti harapan mereka. Bagaimana keadaannya... Bayangklan, jika beberapa waktu kemudian, disampaikan orang berita kepada kita, bahwa akibat memendam kerinduan ingin bersua anaknya, ibu jatuh sakit. Makin lama, makin berat, dan berakhir pada ajalnya. Inna lillâhi wa inna ilayhi râji’ûn......

Bagaimana sikap kita? Akankah kita baru jadi anak yang berbakti, jika keadaan seperti ini benar-benar terjadi? Jika iya, terlambat sudah, dan betapa tidak tahu dirinya kita..... Ya Allah, ampuni segala kesalahan dan dosa-dosa kami. Ayah.... Ibu, maafkan segala kesalahan kami anakmu, yang telah terlanjur mengabaikan dan melupakanmu.

Puisi: Tetes Darah Ibunda (Safari Nurzaman)

Ibu........

Doa apa yang harus kuhaturkan kehadirat Ilahi

Bagaimana aku harus menghiba penuh pasrah

Agar aku tak kehilangan engkau

Agar aku tak jauh dari engkau

Ibu..., Aku perkasa di luas kasih batinmu

Teduh dalam tatap hangat memancar ikhlas

Lekat di antara urai rambut harum aroma jiwa

Di sini, aku menangis, Ibu

Rindu suara tentang nasi goreng yang kau sajikan

Lapar sentuh jemarimu menyeka sisa keringatku

Haus nasehat agungmu di sela sibuk belajarku

Duh, Ibu.......

Mengapa jarak nusa pisahkan satu darah kita

Hening waktu ini mencari raut jelita abadimu

Rintih rindu haru kalbu

Pasang kenang jelang pulang

Pada angin kirimkan seikat senyum putihmu, Ibu

Pada bulan lemparkan sepotong kidungmu, Ibu

Agar aku tak kehilangan engkau

Agar aku tak jauh dari engkau

Ibu........

Aku anakmu yang menangis karena karismamu

Aku anakmu yang menghiba karena wibawamu

Engkau adalah matahari

Engkau adalah nyanyian hati

Engkau adalah rangkaian rasa dan asa

Aku anakmu memohon ridha

Puisi: Sepotong Doa Buat Ayah dan Ibu (Yusrizal Efendi)

Ayah................Ibu..................

Di keheningan malam yang kelam

Tanpa hiasan cahaya rembulan dan gemintang

Jiwaku lunglai mengenang betapa besar pengorbananmu

Entah dengan apa, ya Allah, tak mungkin dapat ku membalas jasanya

Takkan kubiarkan setetes air mata

jatuh membasahi pipimu

Walau.....aku anakmu,

belum mampu tuk membahagiakanmu

Ya Allah!..... Ampunilah segala dosa dan khilafku

Ya Allah!..... Ampunilah segala dosa dan kesalahan mereka

Kasinilah mereka orang tuaku sepenuhnya

Sebagaimana mereka telah mendidikku sedari kecil

Sungguh tak dapat kubalas segenap pengorbanan mereka

Ya Allah!

Naungilah mereka dengan awan keridhaan-Mu

Berkatilah kehidupan mereka dengan tetes rahmat-Mu

Lagu: Ibu (Iwan Fals)

Ribuan kilo, jalan yang kau tempuh

Lewati rintang, untuk aku anakmu

Ibuku sayang, masih terus berjalan

Walau tapak kaki, penuh darah, penuh nanah

Seperti udara, kasih yang engkau berikan

Tak mampu ku membalas.... Ibu.... Ibu

Reff: (kembali ke awal)

Ingin ku dekat, dan menangis di pangkuanmu

Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu

Lalu doa-doa, selalu kusebut.... Ibu

Dengan apa, ku membalas.... Ibu... Ibu

Nasyid: Mengemis Kasih (Raihan)

Tuhan, dulu pernah, aku menagih simpati

Kepada manusia yang alfa jua buta

Lalu terseretlah aku ke lorong gelisah

Luka hati yang berdarah kini jadi kian parah

Semalam sudah sampai ke panghujungnya

Kisah seribu duka kuharap telah berlalu

Tak ingin lagi ku ulangi kembali

Jerat dosa yang mengiris hati

Reff:

Tuhan......dosaku menggunung tinggi

Tapi rahmat-Mu melangit luas

Harga ....selautan syukurku

Hanyalah setetes nikmat-Mu di bumi

Allah........Allah..........

*)*

Duhai Allâh, Ampunilah Dosaku

Bayangkanlah........Betapa besarnya, penyesalan orang yang menyangka bahwa amalannya di dunia penuh dengan kebaikan. Akan tetapi, saat dibeberkan di hadapan Allah. Dia pun murka dan berfirman ”agar semua bukti amalan yang kita pandang baik tersebut dibuang jauh”. Kenapa? Karena semua itu kita lakukan bukan lillahi ta’ala, tetapi karena harap pujian dan penghargaan dari orang lain. Agama hanya kita dijadikan sebagai topeng untuk mengelabui orang banyak. Islam hanya diamalkan kalau mendatangkan keuntungan material duniawi. Kita akan berpaling dari agama ini, dan bahkan mungkin menginjak-injak ajaran-Nya saat bertentangan dengan kemauan nafsu rendahan kita. Kita baca al-Qur’an (itu pun jarang dan tidak teratur), maksud dan tujuannya pun tidak pernah kita coba untuk pahami, apalagi untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari....

Kita masih berharap selamat dengan shalat yang kita perbuat? Tidakkah kita tahu dan sadar, bagaimana sejatinya kualitas shalat kita masing-masing? Bukankah kita baru sebatas “melaksanakan” shalat, sekedar menggugurkan kewajiban belaka. Entah kapan, kita pernah betul-betul pernah “mendirikannya”. Secara jujur, kita harus mengakui. Bukankah shalat yang kita lakukan sering tidak tuma`ninah dan terburu-buru? Ada kesan, kita tidak betah jika shalat agak lama. Selama ini, nampak terkesan, betapa tidak begitu perlu bagi kita, berdialog dan mengadukan segenap persoalan hidup kepada Allah. Betapa.... masih bercokol sikap sombong dan durhaka dalam diri kita, padahal kita sedang shalat. Bukankah shalat kita juga tidak khusyuk? Memang raga kita ada di atas sajadah dan mata kita tertuju ke tempat sujud, tetapi tatapannya kosong dan menerawang. Mulut kita komat-kamit membaca bacaan shalat, tetapi pikiran kita sering berfantasi, terbang-melayang meninggalkan jasad. Hati kita masih sibuk berkutat dengan hal-hal yang bernuansa duniawi. Padahal, kita sedang menghadapkan diri kepada Sang Pencipta langit dan bumi. Betapa, masih tidak tahu dirinya kita. Kita ajak Allah berdialog, tetapi perhatian kita tertuju kepada selain Allah. Jujurlah, bukankah shalat kita juga tidak tepat waktu? Malahan kita cenderung mengemukakan berbagai dalih dan alasan untuk menutupi kelalaian kita dalam menyahuti panggilan-Nya.

Adzan Shubuh telah berkumandang, mu`adzin memanggil “ash-Shalâtu Khayrun Minan-Nawm” (Shalat lebih baik dari tidur). Bagaimana respon kita? Apakah bangun dari tempat tidur, lalu membersihkan diri, berwhuduk, dan datang menyahuti panggilan mulia itu? Sering tidak bukan? Malah kita cenderung memperbaiki selimut, melanjutkan tidur, beralasan masih mengantuk. Akibatnya shalat Shubuh kita kesiangan, saat matahari telah terbit dan meninggi. Bagaimana dengan shalat Zhuhur? Tidakkah kita juga mengabaikannya? Kita jawab panggilan adzan dengan berdalih; kita sedang sibuk, pekerjaan lagi menumpuk, masih tanggung-tinggal sedikit lagi....., Kita tolelir, lidah ini berdalih, biarlah shalat sebentar lagi. Begitu pula, saat shalat Ashar. Kita sedang asyik bermain, berolah raga, atau bersantai. Lebih utama bagi kita kesehatan jasmani dari pada kesehatan rohani dan jiwa kita sendiri. Hal yang sama, bukankah juga terjadi pada shalat Maghrib? Kita sering masih dalam perjalanan pulang atau dalam kondisi lelah setelah beraktivitas seharian. Akhirnya, shalat Maghrib pun ditunaikan molor dari waktunya. Jika demikian, mungkinkah shalat Isya, yang dapat kita banggakan? Ternyata juga tidak. Kita undur lagi pelaksanaannya, kita beralasan sedang asyik berkumpul dengan keluarga, menonton televisi, dan segala macam aktivitas duniawi lainnya. Apakah mungkin kita berharap pada shalat sunat, ...... yang ternyata juga jarang kita lakukan? Sungguh, betapa tidak tahu dirinya, kita.

Adalah wajar, apabila amalan seperti itu tidak berharga di mata Allah. Akan tetapi, bagi seorang pendurhaka yang hatinya telah buta dan membantu. Tak ada lagi getaran hati karena ia sudah tertutup hitamnya noda dan dosa. Maksiat baginya, bukan lagi suatu aib, melainkan sudah menjadi candu dan kebutuhan harian. Ia teguk dosa bagai musafir kehausan. Tak ada lagi kutukan nurani, tak ada lagi sentakan sanubari.......Na ‘udzu billahi min dzalik.

Sadarilah! Hidup menjauh dari Allah hanya akan berbuah keresahan dan kegelisahan batin. Ketahuilah, bahwa “ketenangan hanya bisa hadir dalam hidup, bila diri kita selalu berdzikir (ingat) kepada Allah” (QS. Al-Ra’d/13: 28). Ingat yang bukan sekedar ucapan manis di mulut, hanya bertanam tebu di bibir, dan sarat dengan kemunafikan. Akan tetapi, ingat yang meresap dari dalam hati. Bahkan, nampak wujudnya dalam amalan dan prilaku kehidupan sehari-hari. Bukan hanya dalam shalat, tetapi juga di luar shalat. Dalam segala waktu, situasi, dan kondisi; berdiri, duduk, atau berbaring sekali pun. Allah senantiasa dalam hati, pikiran, dan tingkah laku keseharian (QS. Ali Imran/3: 191).

Sekali lagi... kehidupan dunia yang fana ini, hanyalah permainan dan senda gurau belaka. Di akhirat kelaklah kehidupan sejati kita. (QS. Al-An’am/6:32 dan QS. Al-‘Ankabut/29:65). Karenanya, wahai diri! Jangan kamu sia-siakan hari ini. Janganlah lagi kamu tenggelam dalam hal yang tidak bermanfaat, malas dalam belajar, berusaha, dan bekerja. Suka bermain-main, dan lalai dalam beramal. Jangan biarkan nasi menjadi bubur. Jangan sampai larut dalam sesalan setelah semuanya terjadi dan waktu untuk koreksi dan perbaiki diri tidak ada lagi.

Ingatlah.... Betapa besarnya penyesalan para pendosa di akhirat kelak.

Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka, ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya., (Mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin." (QS.. Al-Sajadah/32:12)

Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) Akan siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah".( QS. Al-Naba`/78: 40)

Walau dengan kepala tertunduk malu dan penuh ngeri. Walau meratap, memohon kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia. Atau minta agar dikembalikan jadi tanah saja supaya terlepas dari tanggung jawab yang demikian berat. Penyesalan seperti ini, jelas tak ada gunanya dan terlambat sudah. Neraka jahanam telah menyala untuk membakar diri yang penuh lumpur dosa dan durhaka.

Oleh karena itu..... Janganlah memandang remeh betapa pun kecilnya dosa-dosa yang pernah kita perbuat. Bukankah dosa kecil tersebut dapat menjadi besar, bilamana sering kita lakukan? Karena dianggap tak berarti, ia akhirnya menumpuk. Apalagi jika tersirat dalam hati kita melecehkan ancaman dan siksa Allah. Wahai Insan!....Hisab dan perhitungkanlah dirimu sendiri, sebelum datang masanya Allah melakukan perhitungan. Timbanglah segenap amalanmu, sebelum ditimbang di Mizan Allah di akhirat kelak. Perhatikanlah secara seksama! Sudahkah kebaikan yang sempat kita lakukan lebih banyak dari bertumpuk kedurhakaan yang terlanjur kita perbuat?.

Mari pula kita periksa segenap anggota tubuh ini. Kita teliti mulut, boleh jadi dustanya lebih banyak dari pada benarnya. Kita umpat sahabat sendiri, kita durhakai kedua orang tua dan guru yang telah mendidik kita. Kita puji diri sediri, padahal sebenarnya culas dan jahat. Kita perhatikan perut. Telah seberapa jauh kita diperbudaknya untuk mengikuti nafsu? Kita periksa telinga, mata, tangan, dan kaki, sudah berapa maksiat yang dilakukannya?

Dan.... yang terpenting, kita pandangi hati ini. Karena di sinilah pangkal baik dan buruknya segenap anggota tubuh kita. Bukankah Rasulullah telah menjelaskan bahwa Allah tidak akan memperhatikan tampang, pangkat, ataupun kekayaan kita. Namun yang diperhatikan Allah adalah hati dan amal-perbuatan kita. Dalam hal ini, taubatlah satu-satunya solusi selamat. Kalau kita mau sadar, insyaf, dan sesali diri. Sekaranglah kesempatan kita, bukan besok, apalagi nanti. Kesadaran, keinsyafan, dan sesal yang diiringi tekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Sebab sebenarnya, hari inilah kesempatan yang kita miliki.

Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi Neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf/7: 179)

Kita mengaku masih punya hati nurani, tetapi sayang kita teramat sering mendustainya. Kita tidak dapat lagi memahami kesementaraan keberadaan kita di alam fana ini. Kita tidak ingat, dari mana kita berasal, sedang di mana kita sekarang, dan selanjutnya kita akan ke mana? Kita telah dinugerahkan Allah mata untuk melihat, tetapi mata kita yang terbuka ini “buta sama sekali”. Kita begitu rendah, tak dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang nyata ada di depan mata.... Kita juga diberi telinga, tetapi tidak kita fungsikan. Kita tidak cepat mendengar seruan menuju kebaikan. Kita cenderung berpaling dari kebenaran, kita tidak menghiraukan mana perintah dan mana larangan Allah. Bukankah orang-orang yang berpenyakit seperti diri kita ini yang diungkap Allah “tak ubahnya seperti binatang ternak, bahkan mungkin lebih sesat dari pada itu”. Kenapa? Karena kita betul-betul lalai dan tidak pandai bersyukur....

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. Al-Hajj/22: 46)

Apakah mata hati kita ini, baru akan terbuka setelah kita berada di jurang Neraka? Saat dimana segala kotoran jiwa kita akan dibersihkan dengan azab dan siksaannya yang sangat berat dan pedih?.... Apakah kita masih belum sadar bahwa segala ketaatan yang kita lakukan, tidak sedikit pun berpengaruh terhadap Allah. Sebab Dia tidak butuh apa pun dari kita. Dia Maha Kaya, Maha Sempurna, Maha Segala-galanya. Kitalah yang miskin-papa dan senantiasa berharap akan karunia dan rahmat-Nya.... Tidakkah kita sadari, Allah Maha Mengetahui segalanya. Dia selalu memonitor setiap perbuatan, tingkah laku dan gerak jiwa kita.”Betapa pun kecilnya yang kita perbuat; walau kita sembunyikan di dalam batu, di atas petala langit, atau di kedalaman bumi sekali pun, Allah pasti akan membelasinya”. (QS. Luqman/31: 16). Sejujurnya, tidak ada peluang atau celah bagi diri kita untuk bersembunyi dan berpura-pura di hadapan Allah.

Kita semua juga tahu, bahwa Iblis dan setan adalah musuh abadi umat manusia. Ia selalu berusaha menggiring kita ke jurang dosa dan kedurhakaan. Tujuannya, tidak lain, mengajak dan menjadikan kita sebagai temannya di Neraka kelak... Akan tetapi, kenapa kita malah mengikuti ajakan dan bujuk rayunya? Kita membelakang dari perintah dan larangan Allah. Kita cicipi semua nikmat dan karunia-Nya, lalu kenapa kita enggan bersyukur dan tidak menggunakan karunia itu sesuai dengan kehndak Allah?...

Kita sangat berhasrat mengapai sorga. Amal shaleh apa yang telah kita koleksi untuk mendapatkannya? Kita pengecut, takut berjuang menegakkan kebenaran, kita dihantui kecemasan dan ketakutan tak beralasan. Katanya, kita sangat takut kepada neraka, tetapi kenapa kita justru melemparkan diri kedalamnya? Kenapa kita enggan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya?

Duhai Allah.....

Kesalahan telah menutupiku dengan pakaian kehinaan

Perpisahan dari-Mu telah membungkusku dengan jubah kerendahan

Besarnya dosa dan kedurhakaanku telah mematikan hatiku

Hidupkan daku dengan ampunan-Mu

Ya Allah.......

Wahai Cita dan Damba

Wahai Ingin dan Harapku

Demi keagungan-Mu

Tidak kudapatkan pengampunan dosa selain-Mu

Tidak kulihat penyembuh lukaku selain-Mu

Aku pasrah, berserah diri hanya pada-Mu

Aku tunduk, bersimpuh di hadirat-Mu

Ya Allah.....

Andai Engkau usir aku dari pintu-Mu

Kepada siapa lagi aku mengadu?

Jika Engkau tolak aku dari sisi-Mu

Kepada siapa lagi aku berlindung?

Celaka sudah diri ini lantaran aib dan keduharkaanku

Malang benar aku karena kejahatan dan kejelekan amalku

Aku bermohon pada-Mu.

Ya Allah!

Engkaulah Sang pengampun dosa

Anugerahkanlah kepadaku penghancur dosa itu.

Tutuplah untukku pembongkar cela.

Ya Allah!

Jangan Engkau lewatkan aku pada hari kiamat kelak.

Dari sejuknya ampunan dan keridhaan-Mu

Jangan tinggalkan aku dari indahnya maaf dan pengampunan-Mu

Ya Allah....

Naungilah dosa-dosaku dengan awan ampunan-Mu

Curahilah cela aibku dengan hujan kasih-Mu

Duhai Allah....

Kepada siapa lagi aku akan mengadu

Kalau bukan hanya kehadirat-Mu

Tak ada satu pun kekuatan yang dapat melindungi hamba dari murka-Mu

Ya Allah.......

Sekiranya sesal atas dosa itu taubat

Sungguh demi keanggugan-Mu

Aku ini orang yang menyesal

Sekiranya istiqhfar itu penghapus dosa

Sungguh kepada-Mu aku ber-istighfar

Ya Allah....

Dengan kodrat-Mu, ampunilah aku

Dengan kasih-Mu, maafkanlah aku

Dengan ilmu-Mu, sayangilah aku

Ya Allah.....

Dengan karunia dan rahmat-Mu

Terimalah taubat hamba-Mu yang berlumuran dosa ini.

Ya Allah ...

Dalam sadar taubatku ini

Makin kutahu

Ilâhi Anta maqshûdî wa ridhâka mathlûbî

Wa’thinî mahabbataka wa bi qurbika

Ya Allah, ya Tuhanku.

Hanya Engkaulah (yang layak kujadikan sebagai) tujuan hidupku

Hanya keredaan-Mu pula yang pantas kucari. Ya Allah,

Anugerahkanlah pada hamba-Mu (yang hina ini, nikmatnya) rasa cinta hanya kepada-Mu

dan perasaan damai tentram berada dekat dengan-Mu.

Nasyid: al-I’tiraf (Haddad Alwi)

إِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً $وَلاَ أَقْوَى عَلَى النَّارِ الْجَحِيْمِ

فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِيْ $ فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ

ذٌنُوْبِيْ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ $ فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً يَاذَ الْجَلاَلِ

وَعُمْرِيْ نَاقِصٌ فِيْ كُلِّ مَوْمِ $ وَذَنْبِيْ زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ

إِلَهِيْ عَبْدُكَ الْعَاصِى أَتَاكَ $ مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعاَكَ

فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ $ روَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُوْا سِوَاكَ

Ya Allah, aku bukanlah hamba-Mu yang pantas memasuki Sorga Firdaus-Mu

Tidak juga ku mampu menanggung siksa api neraka-Mu

Ya Allah, berilah hamba-Mu ampunan dan hapuskanlah dosa-dosaku

Sesungguhnya, hanya Engkaulah Sang Maha Pengampun dosa-dosa besar

Dosa-dosaku bagaikan butiran pasir di pantai

Anugerahilah ampunan-Mu, wahai Yang Maha Agung

Dan umurku berkurang setiap hari

Sedang dosa-dosaku terus bertambah, bagaimana aku akan memikulnya?

Ya Allah, hamba-Mu yang penuh maksiat ini bersimpuh menghadap-Mu

Mengakui dosa-dosanya dan memohon pada-Mu, ampunilah

Karena hanya Engkaulah Sang Pemilik Ampunan

Bila Engkau campakkan aku, kepada siapa dan kemana aku mesti berharap selain dari-Mu.

*)*

Senin, 05 Januari 2009

Merenungi Perjalanan Hidup

Dari Nabi SAW, Sayyid al-Istighfar itu adalah bahwa kamu bermunajat:

Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku. Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakan aku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang aku perbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah dosaku. Sesungguhnya tiada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. (HR. Al-Bukhari dari Syiddad ibn Aus)

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janjimu (QS. Al-Maidah/3: 1).

Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al-An’am/6: 162-163)

*)*

Kehidupan yang sedang kita jalani saat ini, terus berlalu tanpa henti. Perlahan..... detik..., menit...., jam....., hari....., minggu......, bulan......., dan tahun pun berlalu. Waktu yang telah kita lewati, tak pernah sekali pun berjanji untuk menjelang kembali. Dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini, suatu waktu seberkas kebahagian meliputi diri; hari berlalu begitu indah; penuh tawa dan canda. Akan tetapi, di lain waktu, kita merasa tercampak ke dalam kubangan penderitaan; yang tersisa hanyalah rintihan, desah tangis, dan deraian air mata.

Bila direnungkan secara mendalam, maka hidup kita ini tak obahnya seperti lembaran dedaunan hijau yang sedang digerogoti ulat. Itulah putaran waktu. Hidup bagaikan hujan deras yang turun menyiram bumi. Kita manusia adalah tanaman yang mekar-merekah beberapa saat, lalu layu, kering, dan akhirnya jatuh ke permukaan tanah. Apa arti semua ini? ..... Dunia yang kita tempati sekarang hanyalah tempat persinggahan sejenak. Sadarilah, dunia ini bersifat maya dan sementara. Tak ada yang abadi. “Semua bakal lenyap dan musnah. Yang Kekal dan Abadi hanyalah zat Allah semata. Dialah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia”. (QS. Al-Rahman/55: 26).

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami kamu dikembalikan. (QS. Al-‘Ankabut/29: 57)

Saudaraku.....

Pada dasarnya. kehidupan dunia ini hanya terdiri dari tiga hari saja. Pertama, hari kemaren yang telah berlalu. Di sanalah terpendamnya apa saja yang telah kita perbuat; apakah itu berupa kebaikan sebagai bekal menuju sorga ataukah berupa kejahatan, dosa yang akan menjerumuskan kita ke Neraka jahanam. Kita masing-masinglah yang tahu, di samping Allah Yang Maha Tahu. Dialah yang selalu mengawasi dan mengetahui setiap gerak nafas dan apa yang terpendam dalam jiwa kita..... Kedua, hari esok. Kita tidak tahu secara pasti, apa yang bakal terjadi dan menimpa diri kita esok hari. Apakah kita masih bisa menikmati kehidupan dan merenung, serta menyadari kekeliruan diri selama ini? Entahlah! .... Kita tak pernah tahu dan tak bisa memberikan jawaban yang tepat. Kenapa? Takdir, hidup dan mati adalah wewenang Allah semata. Maka sadarilah.... kita tidak memiliki satu hari pun kecuali hari yang ketiga, yaitu hari ini... Tetapi, kenapa hati kita ini tidak juga pandai bersyukur kepada Tuhan? Sebagai hamba, kita amat lalai dalam menunaikan tugas pengabdian kepada-Nya. Mengapa kita sering mengabaikan firman dan ayat-ayat-Nya? Kenapa kita engan untuk menunaikan perintah-Nya, tetapi malah gemar dan larut dalam memperbuat larangan-Nya. Kita lakukan segala macam dosa dan kemaksiatan.

Sadar dan insyalah, wahai diri!

Permainan sang waktu tak pernah jemu menjerumuskan kita ke dalam kelalaian. Bukankah pada akhirnya, kita bakal terkapar, tanpa daya di liang lahat, di bawah gundukan tanah bertatahkan batu nisan? Inna lillâhi wa inna ilayhi râji’ûn....... Bukankah itu suatu kepastian? Lebih pasti dari akan terbitnya sang fajar esok hari. Tak seorang pun bakal luput dari yang namanya ajal.

Bayangkanlah.......Betapa pedihnya penderitaan tatkala sakaratul maut itu. Ketika Izra’il, malaikat pencabut nyawa menarik roh kita sejengkal demi sejangkal. Dengan menanggung sakit tak alang kepalang, bagaikan 300 kali bacokan pedang, bak binatang dikuliti dalam keadaan masih hidup. Begitu pedih dan menyiksa. Lalu dengan nafas sesak, kita berusaha menjerit serak:........Allah..........Allah........Allah........Waktu itu, mulai dari ujung kaki sampai ubun-ubun kita mengelepar menahan sakit. Pandangan mata kita kian lama akan semakin kabur, dan akhirnya........gelap gulita sama sekali.

Pada sentakan yang terakhir, sakitnya tak tertahankan lagi; pengap, sesak, dan menindih. Merenggang hebat sekujur tubuh kita, lalu tubuh yang tadinya penuh semangat, berubah kaku dan beku seketika. Kemudian, tibalah saatnya jasad kita dimandikan orang untuk kali yang terakhir. Selanjutnya, dibungkus dengan lembaran kain kafan. Sehebat dan sekaya apa pun kita masa di dunia, tetap itulah pakaian kita saat menghadap ke hadirat Ilahi. Setelah itu, orang banyak akan menyelenggarakan shalat jenazah; menyampaikan salam perpisahan melepas keberangkatan kita menuju alam baka. Keranda tempat kita dibaringkan pun digotong orang nenuju pandam pemakaman..

Saat itu, orang yang melayat dengan wajah penuh duka, tertunduk pilu berusaha untuk mengumandangkan: Subhânallâh wal Hamdu lillâhi wa Lâ Ilâha IllAllâh.....Allâhu akbar”. Adik atau kakak kita menangis haru di pintu halaman. Iba sangat hati ayah dan ibu, kita anak tumpuan harapan telah tiada, pergi buat selamanya. Teman dan sahabat menatap dengan muka sabak berlinang air mata..... Akan tetapi, kita yang sudah menjadi mayat, tak pedulikan semua itu. Keranda tetap diusung orang. Saat tiba di pandam pemakaman, telah disediakan orang untuk kita sebuah lubang berukuran tak lebih dari 1x2 meter dengan sebuah liang lahat; sekedar seukuran badan. Masih belum sadarkah kita bahwa itulah sebenarnya rumah masa depan kita? Jasad kita perlahan akan diturunkan ke liang kubur, dibaringkan dalam liang lahat dengan posisi menghadap kiblat. Diiringi doa Bismillâhi ’alâ millati Rasûlillâh Shalallahu ‘Alayhi wa Sallam”, air mata pun menetes kali yang terakhir.

Setelah itu, bongkahan tanah dijatuhkan perlahan sampai akhirnya menutupi seluruh lubang kuburan. Kian lama semakin padat dan akhirnya batu nisan pun di pancangkan sebagai tanda di sinilah seorang anak manusia pernah dikuburkan. Itulah kenyataan yang tak terbantahkan. Siapa pun tak dapat memungkirinya dan kita tak dapat menghindar darinya. Kenapa? Kini terbukti sudah, betapa benarnya firman Allah

"Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu. Kemudian, kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan" (QS. Al-Jumu’ah/62: 8).

Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya). (QS. Yunus/10: 49)

Dari bumi (tanah) ttulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan engembalikan kamu dan daripadanya kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.( QS. Thaha/20: 55)

Sungguh sekali lagi, kita semua adalah milik dan budak Allah. Kita pasti kembali kepada-Nya. Namun begitu, mengapa kita selagi hidup saat ini tidak serius mempersiapkan bekal yang memadai untuk menghadapinya? Apakah kita masih tidak sadar bahwa maut bagaikan buah kelapa yang jatuh ke tanah. Tak peduli, apakah kelapa itu sudah tua, masih muda, atau baru putik sekali pun. Bila waktunya telah tiba, ia pun akan jatuh ke tanah.

Camkanlah!..... Bukankah kenyataan hidup yang kita hadapi tak ubahnya seperti permainan wayang di tangan seorang dalang. Sungguh hebat tingkah laku kita dengan anugerah hidup dari Allah. Akan tetapi, bila daya hidup telah dihentikan-Nya, maka kita tinggal bangkai tak ada harganya. Atas dasar itu, tidak ada jalan menuju keselamatan, kecuali kita selalu ingat akan sumber kehidupan ini. Dialah Allah, Tuhan semesta alam.

Tanyailah diri masing-masing! Hai diri! Dari mana kamu berasal, sedang di mana kamu sekarang, dan ke manakah kamu bakal berpulang? Betapa pun kita katakan “siap untuk meninggal”, tetapi bekal apa yang sudah kita kumpulkan? Siapa pula yang mampu menolong kita, tatkala ditanyai malaikat Munkar dan Nankir di alam Barzakh? Siapa pula yang mampu menolong kita, saat dijadikan terdakwa di hadapan pengadilan Qadhi Rabbul Jalil? Akankah kita dapat mengelak dari tuntutan Allah atas segala amal perbuatan kita selama hidup di dunia ini? Padahal saksinya adalah anggota badan kita sendiri. Mulut, tangan dan kaki yang selama di dunia kita ajak bermaksiat dan menimbun dosa. Merekalah yang akan menyampaikan kesaksiannya dan menguraikan segala bobrok kita di hadapan pengadilan yang teramat mulia tersebut. Siapakah yang akan sanggup membantu kita? Pangkatkah.... Hartakah.... Sanak keluargakah...? Tidak ada. Tidak satu pun yang dapat menolong kita, selain amal kebaikan yang pernah kita tunaikan secara ikhlas selagi hidup di dunia ini.

***