Rumusan Hasil Muzakarah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Se-Sumatera Barat
di Kabupaten Tanah Datar
Nara Sumber Utama: Dr. H. Muchlis Bahar, Lc., M.Ag.
Nara Sumber Pendamping: Yusrizal Efendi, S.Ag., M.Ag., dkk
Moderator: Prof. Dr. H. Edi Safri
Manusia tidak akan mencapai kesempurnaan [waffa] dalam proses evolusinya sebelum ia wafat meninggalkan dunia ini menuju alam berikutnya (alam barzakh). Pada saat musibah itu datang menimpa, lazim dilakukan apa yang dikenal sebagai takziyah yaitu menyabarkan orang yang ditinggal mati keluarganya dengan “sesuatu” (cerita atau perkataan atau ucapan, dan sebagainya) yang dapat ‘menghibur’ dan ‘meringankan atau mengurangi’ kesedihannya. Menurut para fukaha, hukum takziyah adalah sunnah bagi dan kepada semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun orang dewasa. Rasûlullâh SAW bersabda: “Tidak ada seorang mukmin pun yang bertakziyah kepada saudaranya yang mendapat musibah, melainkan Allâh SWT akan mengenakan padanya pakaian kemuliaan pada hari kiamat”. (HR. Ibn Mâjah dari Muhammad ibn ‘Amrû ibn Hâzm).
Pada zaman modern ini, ungkapan takziyah juga diwujudkan dalam bentuk pengiriman karangan bunga yaitu untaian pelbagai macam bunga yang disusun dan diatur dalam bentuk sedemikian rupa sehingga menjadi bentuk yang elok dan menarik sebagai tanda ucapan selamat atau tana turut berduka cita atas wafatnya seseorang. Dalam konteks ini, banyaknya karangan bunga merupakan “peyejuk hati” sekaligus “kebanggaan” bagi keluaga duka yang ditimpa musibah. Ia juga merupakan ekspresi betapa besarnya perhatian masyarakat atas wafatnya seseorang, yang dikesankan bukan orang sembarangan, melainkan terkenal dan banyak jasanya di tengah masyarakat. Ditinjau dari segi ekonomi, banyaknya karangan bunga yang terjual tentu mndatangkan banyak keuntungan bagi pedagang dan produsennya, apalagi satu karangan bunga sederhana setidaknya berharga sekitar Rp. 300.000. Namun di sisi lain, keluarga duka juga mendapat tambahan pekerjaan membuang karangan bunga yang mulai layu dan menjadi sampah. Bagaimanakah mestinya kita umat Islam menyikapi problematika ini? Apakah hal ini termasuk perbuatan yang dilarang Allâh dan rasul-Nya ataukah diperbolehkan?
B. Presentasi dan Pembahasan
Menurut para fukaha, takziyah boleh dilakukan sebelum maupun sesudah penguburan. Namun demikian, sesudah penguburan lebih baik karena sebelumnya keluarga masih sibuk dengan urusan penyelenggaraan jenazah dan kesepian setelah ditinggal si mayat lebih dirasakannya. Dasar hukum tenggang waktu bertakziyah itu adalah izin Rasûlullâh SAW untuk berkabung (ihdâd) terhadap mayat selama tiga hari, kecuali terhadap suaminya, maka ia diwajibkan berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Rasûlullâh SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allâh dan hari akhir untuk berkabung terhadap orangyang meninggal lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suaminya, yakni empat bulan sepuluh hari.” (HR. Al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain dari Ummu Habîbah)
Dalam konteks ini, disunnahkan kepada orang yang bertakziyah untuk membuatkan makanan bagi keluarga yang mendapat musibah guna membantu meringankan beban mereka. Rasûlullâh bersabda: “Buatlah makanan bagi keluarga Ja’far (ibn Abî Thâlib) karena mereka sedang ditimpa perkara (musibah) yang membuat mereka sibuk.” (HR. Abû Dâwud, al-Turmudzî, dan Ibn Mâjah dari ‘Abd Allâh ibn Ja’far). Di sisi lain, orang yang bertakziyah hendaklah menghibur dan menyabarkan orang yang terkena musibah bahwa ia akan mendapat pahala atas kesabarannya, serta mengajarnya agar ridha, kemudian mendoakan orang yang meninggal. Adapun ungkapan yang disampaikan dalam bertakziyah, tidak ditentukan dan berbeda-beda sesuai dengan agama orang yang meninggal dan keluarganya. Namun demikian, membatasi diri pada ungkapan-ungkapan takziyah yang dituntunkan Nabi SAW adalah tentunya lebih baik Rasûlullâh SAW bersabda: “Sesungguhnya kepunyaan Allahlah apa yang diambilnya, kepunyaannyalah apa yang diberikannya, dan segala sesuatu mempunyai masanya yang ditentukan di sisi-Nya, maka hendaklah engkau bersabar dan berserah diri kepadanya....”. (HR. Al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain dari Usâmah ibn Zayd).
Di samping itu, hendaklah takziyah dilakukan seperlunya. Artinya, setelah bertakziyah hendaklah orang yang bertakziyah dan keluarga orang yang meninggal kembali melakukan keperluannya masing-masing. Pada sisi lain, orang yang mendapat musibah disunnahkan bersikap sebagai berikut: (1). Ridha atas meninggalnya keluarganya dengan mengucapkan istirjâ` (inna lillâhi wa inna ilayhi râji’ûn), dan (2). Bersabar. Di antara perbuatan yang bertentangan dengan sikap sabar adalah meratap, menjerit-jerit, memukul-mukul dada, merobek-robek baju, mengacak-acak rambut, dan sikap yang berkonotasi nihâyah lainnya.
Walaupun secara eksplisit, kata-kata yang berarti karangan bunga tidak ditemukan dalam al-Qur`an maupun Sunnah, tetapi persoalan tersebut dapt disikapi sebagai berikut:
- Orang yang membelanjakan hartanya untuk membeli karangan bunga “yang cukup mahal” itu sebagai pernyataan ikut berduka cita atas wafatnya seseorang, kemudian karangan bunga itu “tidak atau kurang berguna” bagi keluarga duka, bahkan menjadi tumpukan sampah, maka perbuatan itu merupakan tindakan “mubazir” Mereka telah membelanjakan harta bukan pada tempatnya, seperti orang yang menebarkan benih bukan pada tempat persemaiannya (tabdzîr). Si pengirim dan pembuat ingin karangan bunganya dilihat orang (riyâ`) dan melahirkan kebanggan karena dipuji dan dikenal orang lain (sum’ah. Peaku tindakan ini adalah temannya syetan, syetan itu kafir (engkar) kepada Tuhan. Mereka juga tidak pandai bersyukur, karena tidak menggunakan hartanya sesuai dengan tuntunan Allâh dan Rasul-Nya. (QS. Al-Isrâ`/17 ayat 26-27 dan QS. Al-Zukhrûf/43 ayat 36).
- Menurut Sunnah Nabi, yang mesti diberikan kepada keluarga duka bukan karangan bunga, melainkan makanan, baik berupa makanan siap saji, bahan makanan, ataupun berupa uang tunai untuk keperluan dimaksud.
- Perilaku tersebut juga menunjukkan sikap yang bernuansa kesombongan (mukhtâl), bermegah-megah (tafâkhur), melampaui batas (i’tidâ`). Hal itu hanya mungkin diltunjukkan kalangan tertentu [biasanya memiliki status sosial yang tinggi dan dihormati di tengah masyarakat] serta diperuntukkan bagi seperti mereka pula. (QS. Al-Nisâ`/4 ayat 36, QS. Liuqmân/31 ayat 18, QS. Al-Hadîd/57 ayat 23, dan QS. Al-A’raf/7 ayat 55).
- Kebiasaan, tradisi, dan budaya tersebut tidak berasal dan tumbuh dari umat Islam dan belum pernah ada di lingkungan mereka sebelumnya. Perbuatan ini berarti tasyabuh (menyerupai) kaum non muslim dan hal ini bukan merupakan identitas umat Islam. Dalam konteks ini, Allâh menyuruh umat Islam untuk hanya mengikuti jalan-Nya. (QS. Al-An’âm/6 ayat 153, QS. Al-Baqarah/2 ayat 120, dan QS. Al-Nisâ`/4 ayat 115). Rasûlullâh SAW juga bersabda: “Barangsiapa menyerupai (meniru-niru) suatu kaum, amaka ia merupakan bagian dari mereka”. (HR. Abû Dâwud dari ‘Abd Allâh ibn ‘Umar).
C. Diskusi dan Rekomendasi
1. Sisi Positif Karangan Bunga
- Rasûlullâh SAW responsif jika terima berita duka, tidak hadir beliau kirim utusan untuk menyampaikan salam dan pesannya. Bukankah karangan bunga manifestasi dari pernyataan tturut berduka cita?
- Karangan bunga merupakan wujud apresiasi terhadap keluarga duka. Bukankah tingkat kepuasan tiap orang berbeda? Bagi kalangan tertentu (high level), mereka tidak begitu butuh suply makanan saat duka dan adanya karangan bunga dapat menjadi “obat dan hiburan tersendiri” bagi jiwa mereka.
- Bunga yang dipetik bukanlah hal mubazir, yang penting karangan bunga jangan sampai rusak akidah, melalaikan kewajiban, dan menambah kesedihan
2. Sisi Negatif Karangan Bunga
- Budaya ini melahirkan rasa malu yang tidak tepat dan bukan bagian dari keimanan, “malu tidak kirim karangan bunga”. Mestinya dikembangkan budaya malu melakukan amalan yang tidak cocok dengan tuntunan syariat.
- Walaupun bunga wujud cinta dan sayang, tetapi modal karangan bunga tetap besar dan bernilai mubazi
- Karangan bunga lebih bernuansa prestise dan prestasi (sum’ah dan riyâ`), baik bagi pemberi, tak jarang bagi penerimanya. Padahal riyâ`, termasuk syirik kecil yang membahayakan akidah.
- Dalam karangan bunga ada nuansa promosi bagi si pengirimnya. Motifnya masih keuntungan duniawi, ekonomi bahkan politis. Padahal, nasehat dan pengajaran yang terkandung dalam bertakziyah, tidak bisa diwakili oleh karangan bunga.
- Karangan bunga merupakan budaya elite class. Prinsipnya “benih saja ditabur bukan pada persemaiannya adalah mubazir, apalagi sudah jadi karangan bunga”.
- Pemberian karangan bunga termasuk rangkaian takziyah yang merupakan urusan ibadah. Kaedahnya adalah tawqîf dan ittibâ’. Oleh sebab itu, takziyah mesti dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan tuntunan syariat. Karangan bunga juga termasuk tindakan bid’ah, tidak sesuai dengan perintah agama, dan hukumnya “ditolak”.
- Datang bertakziyah disyariatkan (masyrû’) untuk berbagi duka cita, ‘membahagiakan’, dan menyabarkan keluarga duka (idkhal al-surûr wa al-shabr), mengajarkan istirjâ` dan menyadari makna inna lillâhi wa inna ilayhi râji’ûn, dan mendoakan orang yang meninggal.
3. Simpulan dan Solusi
- Walaupun pemberian karangan bunga dimaksudkan untuk tujuan yang baik dan disyariatkan (masyrû’) yaitu menghibur keluarga duka agar bersabar dalam menghadapi musibah, tetapi tatacara dan sarananya tidak disyariatkan (ghayru masyrû’) karena yang diberikan tidak termasuk kebutuhan pangan.
- Mafsadat (dampak negatif) karangan bunga sudah jelas, yaitu merupakan prilaku mubazir, bernuansa sum’ah dan riyâ`, tafâkhur, dan sebagainya. Adapun unsur mashlahat (sisi positifnya) bersifat mubham (diragukan). Atas dasar itu, hukumnya minimal karahat tanzih sehingga pemberian karangan bunga mesti ditinggalkan atau dihindari.
- Solusi yang dapat dilaksanakan sebagai pengganti karangan bunga dalam takziyah sesuai dengan tuntunan agama adalah memberikan sumbangan untuk keperluan pangan keluarga duka, baik berupa makanan siap saji, bahan makanan, ataupun berupa uang tunai untuk keperluan dimaksud.
** Allâh a’lam bi al-shawâb**